Sidang lanjutan uji materi Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah - Perkara No. 42/PUU-XII/2014 - digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (30/9) siang. Dalam persidangan, Pemohon menghadirkan Saksi bernama Samsudin yang pernah ditunjuk oleh masyarakat korban penggusuran di daerah Kukusan, Depok, Jawa Barat.
Samsudin menuturkan, Pemerintah melalui tim appraisal independen kerap memaksakan kehendak dalam menentukan jumlah ganti rugi tanah yang hendak dibayarkan pada warga pemilik tanah. Ia menyebut, proses negosiasi yang terjadi saat itu bukan merupakan kesepakatan kedua belah pihak, namun hanya keputusan sepihak tanpa mengakomodasi keinginan warga pemilik lahan.
“Tim apraisal independen kerap menetapkan harga tanah warga di bawah harga Nilai Jual Objek Pajak, sehingga hal ini merugikan warga korban gusuran,” jelas Samsudin kepada Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Hamdan Zoelva.
Di lain pihak, Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang diwakili Aslani Nur mengungkapkan, pihaknya selalu berhati-hati dalam menetapkan nilai ganti rugi yang akan dibayarkan pada warga pemilik lahan. Keseriusan Pemerintah ini tampak dengan mengikutsertakan tim apraisal independen yang menetapkan 100 kriteria variabel yang sangat kuat dan teruji dalam menentukan jumlah ganti rugi.
Selain itu, BPN juga menolak tudingan Pemohon bahwa BPN telah memutuskan jumlah ganti rugi yang akan dibayarkan karena keberatan para pemilik lahan tengah dikaji oleh tim keberatan dan belum ada putusan.
Menanggapi protes pemilik lahan, Majelis Hakim menyarankan Pemohon untuk mengajukan gugatan ke pengadilan, karena jika ada keberatan dari pemilik lahan, maka pengadilan bisa memenangkan warga. Sebelumnya, sejumlah warga korban gusuran di wilayah Margonda Depok, Jawa Barat mengajukan permohonan uji materi UU Pengadaan Tanah bagi kepentingan umum, yang dianggap telah merugikan hak konstitusional mereka terkait ganti rugi lahan.
Sutopo Ronodiharjo, salah seorang Pemohon, menolak dasar penetapan ganti rugi lahan karena menganggap tidak transparannya proses penetapan jumlah ganti rugi, sehingga masyarakat sulit mempercayai hasil penilaian yang dilakukan perusahaan. Sikap perusahaan yang tidak terbuka, dianggap telah dipengaruhi pesan sponsor yaitu pihak pemberi order yang cenderung menilai harga menjadi lebih rendah dari harga yang sebenarnya.
Kepada Majelis Hakim, Pemohon meminta agar definisi ganti rugi yang dimaksud, tidak merugikan pemilik lahan yakni dengan memberikan taraf hidup yang lebih baik sebelum dilakukannya penggusuran.
Sebagaimana diketahui, ada beberapa alasan Pemohon melakukan uji materi UU Pengadaan Tanah. Bahwa dalam pelaksanaan ganti rugi Ruas II Margonda-Kukusan, Depok, tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2); dan Pasal 34 ayat (3), karena tidak ada pengumuman mengenai siapa dan dengan metode apa penilaian tanah dilakukan.
Selain itu, pada perusahaan appraisal tidak terdapat klasifikasi atau rating kredibilitas yang diumumkan secara terbuka dan resmi, sehingga membuat masyarakat sulit menerima dan mempercayai hasil penilaian perusahaan appraisal. Dalam keadaan perusahaan appraisal yang tidak terbuka, hasil penilaian harga oleh penilai sangat rawan obyektivitas dan kredibilitasnya, terhadap potensi di pengaruhi pesan sponsor yaitu pihak pemberi order demi kepentingan sponsor yang cenderung meniali harga menjadi lebih rendah dari harga yang sebenarnya.
Pemohon berpendapat, harus terdapat batasan yang jelas, yang dinyatakan dalam Undang-Undang, yang tidak dapat dimulti tafsirkan karena pembangunan jalan tol akan berjalan terus, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Sehingga pemilik lahan yang sebagian besar rakyat yang berpendidikan dan berwawasan terbatas, tidak menjadi korban pemiskinan dengan intimidasi dan ancaman baik terang-terangan ataupun terselubung. (Nano Tresna Arfana/mh)