Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (KPI), Pusat Pemberdayaan Perempuan Dalam Politik, dan Yayasan LBH APIK Jakarta memperjuangkan keterwakilan perempuan untuk menduduki kursi pimpinan alat kelengkatan DPR.
Pemohon menguji Pasal 97 ayat (2), Pasal 104 ayat (2), Pasal 109 ayat (2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 121 ayat (2), Pasal 152 ayat (2), dan Pasal 158 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) yang dinilai telah menghapus seluruh ketentuan menyangkut keterwakilan perempuan dalam posisi pimpinan alat kelengkapan DPR. Pemberlakuan aturan-aturan yang tidak secara eksplisit mengatur tentang keterwakilan perempuan tersebut dinilai berpotensi melahirkan kebijakan yang tidak berpihak kepada perempuan.
“Pengaturan jaminan keterwakilan perempuan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dengan menyebutkan frasa memperhatikan keterwakilan perempuan di setiap penetuan posisi pimpinan alat kelengkapan DPR dilaksanakan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan dalam posisi pimpinan alat kelengkapan DPR tersebut yang tidak dicantumkan dalam UU Nomor 17 Tahun 2014,” ujar Kuasa Hukum Pemohon Nur Amalia pada sidang perdana perkara Nomor 89/PUU-XII.2014 yang dipimpin Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, Senin (29/9).
Berdasarkan dalil tersebut, Para Pemohon meminta MK menyatakan pasal-pasal yang diujikan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai bahwa pimpinan masing-masing alat kelengkapan DPR “sekurang-kurangnya 30 % keterwakilan perempuan”.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Aswanto menyarankan Pemohon untuk mempertegas kerugian konstitusional yang dialami atau berpotensi dialami oleh Pemohon. “Ini yang harus lebih konkret lagi. Misalnya dengan tidak adanya frasa 30%, maka peluang perempuan untuk duduk sebagai pimpinan alat kelengkapan itu semakin kecil gitu,” ujarnya.
Ia pun menyarankan agar Pemohon mengaitkan norma-norma yang diujikan dengan pasal di dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang dijadikan sebagai dasar pengujian. “Pada bagian posita itu harus merujuk kepada pasal-pasal Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang akan dijadikan dasar pengujian norma,” imbuhnya.
Sementara Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyarankan Pemohon untuk memperbaiki petitumnya dengan hanya menggunakan frasa “mengabulkan”. “Jadi, tidak hanya diterima dan/atau dikabulkan, tetapi kalau mengabulkan pasti diterima, jadi mengabulkan seluruh permohonan pengujian ini,” imbuhnya. (Lulu Hanifah/mh)