Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji formil dan materiil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) yang diajukan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) terkait mekanisme pemilihan pimpinan DPR dan alat kelengkapannya.
“Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Hamdan Zoelva mengucapkan amar putusan, Senin (29/9). Putusan tersebut mengukuhkan ketentuan Pasal 84, Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121, dan Pasal 152 UU MD3 yang pada pokoknya menyatakan pimpinan DPR, pimpinan Komisi, pimpinan Badan Legislasi, pimpinan Badan Anggaran, pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan, dan pimpinan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) dipilih secara musyawarah untuk mufakat. Apabila musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon mengajukan uji formil UU 17/2014 karena masuknya Pasal 84 UU 17/2014 dan perubahan ketentuan Pasal 84, Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121, dan Pasal 152 UU 17/2004 serta pembahasannya melanggar prosedur pembuatan Undang-Undang sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Tata Tertib DPR Pasal 142 ayat (4) Tatib DPR, yaitu asas “keterbukaan,”. Menurut Pemohon, Pasal 84 UU 17/2014 tidak ada dalam “Naskah Akademik RUU MD3” dan juga tidak ada dalam “Keterangan Pemerintah terkait RUU MD3”. Pasal 84 UU 17/2014 dan perubahan rumusan Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121, dan Pasal 152 UU 17/2004 muncul diakhir proses pembahasan RUU MD3 di rapat Pansus RUU MD3.
Sedangkan alasan pengujian materiil Pemohon adalah pasal-pasal yang diujikan bertentangan dengan UU 12/2011 karena materi muatan Pasal 84 UU 17/2014 tidak mengandung asas keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU 12/2011. Lebih lanjut, ketentuan pasal-pasal yang diujikan telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi para Pemohon karena PDI Perjuangan tidak dapat menikmati haknya untuk langsung menjadi Ketua DPR sekalipun telah menjadi peraih suara terbanyak dalam Pemilu Legislatif Tahun 2014. Padahal, pada era sebelumnya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 82 UU 27/2009 ditentukan bahwa “partai politik peraih suara terbanyak pertama langsung menjadi Ketua DPR-RI”.
Menanggapi permohonan tersebut, secara formil, MK berpendirian hanya menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar dan tidak dapat menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang. MK mengatakan pembentukan UU 17/2014 telah dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, yaitu telah dibahas dan disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Menurut MK, walaupun perubahan pasal tersebut tidak bersumber dari Naskah Akademik yang merupakan acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan RUU, namun tidak serta merta hal-hal yang tidak termuat dalam Naskah Akademik kemudian masuk dalam Undang-Undang menyebabkan suatu Undang-Undang menjadi inkonstitusional.
Terkait asas keterbukaan, MK menilai tidak terbukti karena ternyata seluruh proses pembahasannya sudah dilakukan secara terbuka, transparan, yang juga para Pemohon ikut dalam seluruh proses itu. “Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum,” ujar Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Bukan Isu Konstitusional
Sedangkan terkait pengujian materiil, MK mengatakan UUD 1945 tidak menentukan bagaimana susunan organisasi lembaga DPR termasuk cara dan mekanisme pemilihan pimpinannya. UUD 1945 hanya menentukan bahwa susunan DPR diatur dengan Undang-Undang. Pasal 19 ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa susunan DPR diatur dengan Undang-Undang. “Menurut Mahkamah, hal itu berarti bahwa bagaimana organisasi termasuk mekanisme pemilihan pimpinannya adalah wilayah kebijakan pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya,” imbuhnya.
Oleh karena itu, MK menilai perubahan pengaturan mekanisme pemilihan pimpinan dan alat kelengkapan DPR sebagaimana diatur dalam Undang-Undang MD3 tidak bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil serta persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon.
Dissenting Opinion
Dua hakim konstitusi, yakni Arief Hidayat dan Maria Farida Indrati memiliki pendapat berbeda terkait putusan tersebut. Menurut Arief, politik hukum yang dipilih pembentuk undang-undang yang mengubah mekanisme penentuan pimpinan DPR perlu diuji konstitusionalitasnya. Pasalnya, bisa saja sebuah politik hukum bertentangan dengan konstitusi apabila undang-undang yang dihasilkan tidak memenuhi syarat-syarat pembentukan hukum yang baik yang tertuang dalam UU 12 Tahun 2011.
Arief menilai mekanisme pemilihan Pimpinan DPR dan alat kelengkapannya yang selalu berubah-ubah dalam setiap Pemilu dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf i UU PPP yang salah satunya menyatakan bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas ketertiban dan kepastian hukum. “Masyarakat pengguna hak pilih tentunya berharap bahwa Pimpinan DPR dan alat kelengkapannya berasal dari partai yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilu lembaga perwakilan, karena sejatinya partai yang memperoleh suara terbanyak berarti partai tersebut memperoleh kepercayaan dari sebagian besar masyarakat,” ujar Arief yang diwakili Hamdan Zoelva.
Arief juga berpendapat bahwa UU MD3, khususnya terkait kewenangan DPD, sangat tidak memperhatikan Putusan Mahkamah Nomor 92/PUU-X/2012, tanggal 27 Maret 2013 yang telah merekontruksi kembali kewenangan DPD. Pembentuk undang-undang belum mengakomodir materi muatan tentang kewenangan DPD sebagaimana telah diputuskan oleh MK, sehingga DPD mengajukan kembali pengujian formil dan materil UU MD3 atas permasalahan konstitusional yang sama. Selain itu, pembentukan UU MD3 yang baru juga tidak mengakomodir syarat keterwakilan perempuan (affirmative action) sebagaimana tertuang dalam UU MD3 sebelumnya sehingga tidak mengindahkan Putusan Mahkamah Nomor 22-24/PUU-VI/2008 dan Putusan Mahkamah Nomor 20/PUU-XI/2013. “Dengan demikian, menurut saya, UUD MD3 sejak kelahirannya mengalami cacat baik secara formil pembentukannya maupun secara materiil materi muatannya,” imbuhnya.
Atas dasar pertimbangan tersebut, ia berpendapat seharusnya permohonan Pemohon mengenai pengujian formil maupun materiil UU tersebut dikabulkan dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Sependapat dengan Arief, Maria mengatakan UU MD3 khususnya Pasal 84 tidak pernah masuk dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sebelumnya, namun tiba-tiba masuk dalam DIM perubahan pada tanggal 30 Juni 2014 setelah diketahui komposisi hasil Pemilu. Dengan demikian, jika dikaitkan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 maka produk hukum tersebut dibentuk tidak berdasarkan hukum akan tetapi karena kepentingan politis semata. “Oleh karena itu, menurut saya pembentukan UU MD3 a quo, jelas melanggar UU Nomor 12 Tahun 2001 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang merupakan derivasi dari Pasal 22A UUD 1945. Sehingga secara formil UU MD3 tersebut cacat hukum dalam proses pembentukannya,” ujarnya.
Maria juga menilai pembentukan UU 17/2014 bertentangan dengan asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, dan asas keterbukaan. Selain itu, pembentukan UU 17/2014 bertentangan dengan Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 karena pembentukan UU tersebut tidak melibatkan DPD dalam pembahasannya, dan juga bertentangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XI/2013 yang berkaitan dengan hak-hak politik perempuan (affirmative action). Pembentukan UU tersebut pun berdampak terjadinya kerugian konstitusional dari anggota dan/atau lembaga-lembaga yang eksistensinya diatur dalam UUD 1945 khususnya dalam pembentukan dan pemilihan Pimpinan lembaga dan alat kelengkapan dalam MPR, DPR, dan DPD oleh karena pembentukan UU tersebut dilaksanakan setelah proses kontestasi (pemilihan umum) selesai. “Berdasarkan pertimbangan tersebut, saya berpendapat permohonan Pemohon tentang pengujian formil terhadap pembentukan UU 17/2014, seharusnya dikabulkan dan Undang-Undang a quo dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” katanya. (Lulu Hanifah/mh)