Heru Cahjono selaku warga Kota Yogyakarta yang tanahnya terkena dampak perencanaan pengadaan tanah Komplek Kepatihan Yogyakarta mengajukan Pengujian Undang-Undang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (UU Pengadaan Tanah). Albert Riyadi Suwono selaku kuasa hukum Pemohon hadir pada Sidang perdana perkara No. 88/PUU-XII/2014 yang digelar Senin (29/9) di Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstiitusi (MK). Pemohon menggugat ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 21 ayat (6) UU Pengadaan Tanah yang dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum.
Lewat permohonannya, Pemohon merasa dirugikan atas berlakunya Pasal 19 ayat (1) karena ketentuan tentang tujuan Konsultasi Publik rencana pembangunan telah digunakan pemerintah provinsi sebagai dasar untuk tidak dilakukannya pemberitahuan tertulis dan terbuka mengenai dokumen perencanaan pengadaan kepada warga yang terkena dampak pengadaan tanah. Secara lengkap Pasal 19 ayat (1) UU Pengadaan Tanah berbunyi sebagai berikut.
Pasal 19
(1) Konsultasi Publik rencana pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) dilaksanakan untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari Pihak yang berhak
Pemohon khawatir, seperti yang disampaikan Albert, dengan berlakunya norma tersebut data yang didapat dari lokasi rencana pembangunan digunakan sebagai data untuk pelaksanaan konsultasi publik. Dokumen yang dijadikan perencanaan pengadaan tanah sendiri merupakan hak dari pihak yang berhak seperti yang dicantumkan dalam Pasal tersebut. Asas keterbukaan merupakan salah satu asas pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Sesuai asas tersebut, dokumen perancanaan pengadaan tanah harusnya tidak hanya boleh diketahui, dipegang, dan disimpan oleh instansi yang memerlukan tanah dan pemerintah provinsi.
Pemohon kemudian menilai hal tersebut tidak adil. Sebab, disimpannya dokumen perancanaan oleh pemerintah dan yang memerlukan tanah dapat mengakibatkan penyalahgunaan. “Tentulah hal ini tidak adil atau unfair karena dapat mengakibatkan penyalahgunaan keadaan dan kekuasaan oleh penguasa terhadap rakyat. Serta, menyesatkan atau mengurangi informasi dan alat bukti guna pihak yang berhak untuk menuntut haknya di muka pengadilan baik di Pengadilan Tata Usaha Negara maupun di Pengadilan Negeri di kemudian hari,” ujar Albert.
Seharusnya, lanjut Albert, pihak-pihak yang berhak seperti Pemohon selaku pemilik tanah juga berhak memeroleh akses yang luas untuk memperoleh dokumen perencanaan pengadaan tanah tersebut. Terlebih, hak untuk turut memeroleh dokumen tersebut juga dijamin oleh Konstitusi, tepatnya oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Pemohon sebagai warga negara Indonesia berhak atas hak-hak konstitusionalnya berdasarkan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 untuk memperoleh pengakuan, perlindungan, dan kepastian hukum. Sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materiil ini untuk seluruhnya guna tercapainya kepastian hukum bagi Pemohon dalam kapasitasnya sebagai pihak yang berhak dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tersebut,” tutur Albert di hadapan panel hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Aswanto.
Pada pokoknya, Pemohon meminta dokumen perencanaan pengadaan tanah disampaikan kepada pihak yang berhak atas tanah tersebut melalui pemberitahuan tertulis yang bersifat terbuka. Dengan demikian, upaya penyalahgunaan hak atas tanah tersebut tidak akan disalahgunakan oleh siapapun, termasuk pemerintah provinsi yang memiliki kekuasaan untuk menyimpan dokumen perencanaan dimaksud.
Saran Hakim
Usai mendengar dan membaca permohonan Pemohon, panel hakim yang diketuai Aswanto menyarankan agar Pemohon lebih menggambarkan kerugian konstitusional yang dialami akibat diberlakukannya ketentuan tersebut. Selain itu, Aswanto juga menyarankan agar Pemohon memperbaiki format permohonan sesuai Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Hal senada juga disampaikan Muhammad Alim yang menjadi anggota panel hakim. Alim meminta Pemohon menjelaskan kembali legal standing yang dipakai termasuk membedakan urutan penulisan prinsipal Pemohon dan kuasa hukum. (Yusti Nurul Agustin/mh)