Sidang perbaikan permohonan yang diajukan oleh Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA) terkait aturan mengenai batas usia minimal 16 tahun bagi perempuan untuk menikah kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (25/9) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang kedua yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 74/PUU-XII/2014 ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.
Pemohon menjelaskan telah memperbaiki permohonan sesuai dengan saran yang diberikan Majelis Hakim Konstitusi pada sidang sebelumnya, di antaranya memperjelas kedudukan Pemohon perseorangan maupun badan privat. “Selain itu, Pemohon juga memasukkan tren batas usia perkawinan di beberapa negara termasuk negara muslim,” ujar Supriyadi selaku kuasa hukum Pemohon.
Dalam sidang tersebut, Majelis Hakim mengesahkan alat bukti yang diajukan oleh Pemohon. Patrialis menjelaskan karena ada permohonan yang serupa dan telah lebih dahulu disidangkan, maka sidang berikutnya permohonan Pemohon akan disatukan dengan sidang permohonan lainnya. “Sidang berikutnya mengagendakan mendengar saksi maupun ahli pada 24 September 2014 mendatang. Pemohon jika ingin mengajukan ahli atau saksi dipersilakan,” paparnya.
Dalam pokok permohonannya, para pemohon mengungkapkan batas “usia anak” khususnya untuk anak perempuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) secara a contrario tidak memiliki kesesuaian dengan sejumlah peraturan perundang-undangan nasional yang ada di Indonesia. Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya oleh Anggara menjelaskan Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa 16 tahun dan Pasal 7 ayat (2) UU tersebut telah melahirkan banyaknya praktik perkawinan anak yang mengakibatkan dirampasnya hak-hak anak untuk tumbuh dan berkembang, mendapatkan pendidikan, dan karenanya bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan menyatakan “(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun; (2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”.
Para Pemohon menganggap bahwa batas “usia anak” khususnya anak perempuan dalam UU Perkawinan secara a contrario tidak memiliki kesesuaian dengan sejumlah peraturan perundang-undangan nasional yang ada di Indonesia, serta secara faktual dan aktual telah menimbulkan situasi ketidakpastian hukum mengenai batas usia anak di Indonesia. Ketentuan pasal tersebut, menurut para Pemohon, sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun” telah melahirkan banyaknya praktik perkawinan anak khususnya anak perempuan, yang mengakibatkan dirampasnya hak-hak anak untuk tumbuh dan berkembang, maraknya kasus pemaksaan perkawinan anak, mengancam kesehatan reproduksi serta mengancam hak anak atas pendidikan. Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa16 tahun dan Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan tersebut telah melahirkan banyaknya praktik perkawinan anak yang mengakibatkan dirampasnya hak-hak anak untuk tumbuh dan berkembang, mendapatkan pendidikan, dan karenanya bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. (Lulu Anjarsari/mh)