Pemerintah menganggap permohonan yang diajukan oleh FKHK terkait aturan mengenai pemilihan umum kepala daerah seperti yang tercantum dalam UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 12 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum tidak dapat diajukan kembali. Hal ini karena permohonan pengujian terhadap pasal yang sama pernah diputus Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan Nomor 72-73/PUU-II/2004 pada 22 Maret 2005. Demikian disampaikan oleh Mualimin Abdi yang mewakili Kementerian Hukum dan HAM dalam sidang mendengarkan keterangan Pemerintah dan DPR yang digelar pada Kamis (25/9) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Jadi seolah-olah memang permohonan ini berbeda dengan permohonan-permohonan sebagaimana yang tercantum di dalam register 72 dan 73/PUU-II/2004 yang pernah juga diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Namun demikian pemerintah dapat memberikan pertimbangan, dapat memberikan penjelasan bahwa sesuai ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa di sana dinyatakan terhadap materi muatan yang pernah diuji, maka tidak diperkenankan untuk diajukan pengujian kembali, walaupun kemudian di dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi, utamanya di dalam Pasal 42, yaitu Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2005,” terangnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Hamdan Zoelva.
Mualimin menjelaskan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 dianggap bertentangan karena di sana tidak ditegaskan adanya frasa dipilih secara langsung. Hal ini berarti Para Pemohon kalau memaknai ‘dipilih secara demokratis’ dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, yakni dipilih melalui mekanisme musyawarah perwakilan atau perwakilan melalui lembaga badan perwakilan rakyat daerah, bukan dipilih secara langsung oleh rakyat. Sementara UUD 1945 tidak mengamanatkan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk dipilih secara langsung, umum, bebas, dan rahasia, jujur, dan adil.
“Dengan demikian, maka apabila permohonan ini dikabulkan, maka ketentuan Pasal 56 ayat (1) yang mengamanatkan bahwa pemilihan kepala daerah dipilih secara satu pasangan secara demokratis, langsung, umum, bebas, dan rahasia, jujur, dan adil, maka tidak ada mekanisme yang menjadi acuannya. Dengan perkataan lain, kalau pemerintah tidak salah menyatakan bahwa keinginan Pemohon itu bahwa agar dipilih melalui DPRD,” terangnya memperjelas.
Sedangkan mengenai ketentuan hal-hal yang terkait dengan pemilihan kepala daerah langsung, menurut Pemerintah, bahwa hal ini merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) yang menjadi kewenangan dari pembentuk undang-undang apakah pemilihan kepala daerah itu langsung dengan kondisi-kondisi tertentu atau tidak langsung dengan kondisi-kondisi tertentu sebagaimana tadi disampaikan oleh Pemohon seperti di Yogyakarta maupun Papua.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan aturan pemilihan umum kepala daerah yang tidak ditegaskan melalui pemilihan secara langsung dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Beberapa pemohon tercatat sebagai pemohon uji materiil Pasal 56 ayat (1) UU Pemda dan Pasal 1 angka 4 UU Penyelenggara Pemilu tersebut, yakni Forum Kajian Hukum dan Konstitusi serta beberapa pemohon perseorangan.
Pemohon mendalilkan dua pasal tersebut telah melanggar hak konstitusional para pemohon. Pasal 56 ayat (1) UU Pemda menyatakan “Kepala daerah atau wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.”
Sementara, Pasal 1 angka 4 UU Penyelenggara Pemilu menyatakan “Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah Pemilihan untuk memilih gubernur, bupati dan walikota secara demokratis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Pasal 56 ayat (1) UU Pemda dan Pasal 1 angka 4 UU Penyelenggara Pemilu, terang Pemohon, bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 karena tidak ditegaskan adanya frasa “dipilih secara langsung” dalam mekanisme pemilihan kepala daerah, melainkan hanya ditegaskan secara limitatif dengan frasa “dipilih secara demokratis”, sedangkan makna “dipilih secara demokratis” yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 adalah dipilih melalui mekanisme musyawarah/perwakilan bukan dipilih secara langsung seperti pemilihan presiden/wakil presiden dalam Pasal 6A ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 56 ayat (1) UU Pemda dan Pasal 1 angka 4 UU Penyelenggara Pemilu, bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. (Lulu Anjarsari/mh)