Mahkamah Agung menjelaskan hakim ad hoc menurut undang-undang berada di lima pengadilan khusus, yaitu Pengadilan HAM, Pengadilan Tipikor, Pengadilan Hubungan Industrial, Pengadilan Perikanan, Pengadilan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PHI), dan Pengadilan Kehutanan yang hakim ad hoc-nya belum direkrut.
Diwakili Hakim Agung Pidana Khusus MA Suhadi, MA menjelaskan bahwa pengadilan HAM berwenang memberikan dan memutus perkara HAM berat, meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pengadilan HAM dilaksanakan dengan hakim majelis berjumlah 5 orang, terdiri dari 2 orang hakim karir dan 3 orang hakim ad hoc. Sususan tersebut berlaku pada tingkat pertama, tingkat banding, dan tingkat kasasi.
Hakim ad hoc untuk tingkat pertama dan tingkat banding diberhentikan oleh presiden sebagai kepala negara atas usul ketua MA dalam masa jabatan 5 tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 kali masa jabatan. Hakim ad hoc pada Mahkamah Agung, diangkat dan diberhentikan oleh presiden sebagai kepala negara atas usul DPR RI untuk masa jabatan 5 tahun. ”Saat ini tidak ada lagi hakim ad hoc HAM karena masa jabatannya sudah berakhir dan setelah kasus Timor Timur dan tidak ada lagi perkara HAM,” jelasnya dalam sidang lanjutan perkara nomor 32/PUU-XII/2014 yang dipimpin Ketua MK Hamdan Zoelva, Rabu (24/9).
Pengadilan khusus kedua adalah pengadilan tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009. Pengadilan Tipikor bersidang dengan Hakim Majelis, terdiri dari hakim karir dan hakim ad hoc dan berwenang mengadili perkara korupsi dan pencucian uang. Saat ini Pengadilan Tipikor berjumlah 33 dan tersebar di seluruh Indonesia. Hakim Ad hoc berada di Pengadilan Tipikor tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi, diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul ketua Mahkamah Agung dalam masa jabatan 5 tahun dan dapat diangkat sekali lagi dalam satu masa jabatan. “Jumlah Hakim ad hoc Tipikor sekarang ini adalah lebih kurang 201 orang. Terdiri dari 8 orang pada tingkat kasasi, 61 orang pada tingkat banding, dan 131 orang pada tingkat pertama,” jelas Suhardi yang juga mantan Sekretaris Jenderal MA tersebut.
Ketiga, Pengadilan Perikanan berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009. Pengadilan perikanan untuk pertama kali dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Pontianak, Pengadilan Negeri Bitung, dan Pengadilan Negeri Tual. Pengembangan berikutnya sudah dibentuk di Pengadilan Negeri Tanjung Pinang dan Pengadilan Negeri Ranai. “Terakhir sudah ada keluar SK Presiden Republik Indonesia, tetapi belum diresmikan, dibentuk di Pengadilan Negeri Ambon, Pengadilan Negeri Sorong, dan Pengadilan Negeri Merauke,” imbuhnya.
Hakim ad hoc Pengadilan Perikanan, hanya ada di pengadilan tingkat pertama. Jumlah hakim ad hoc perikanan saat ini adalah 56 orang dan bertugas di 7 Pengadilan Perikanan. Seleksi hakim ad hoc perikanan dilakukan MA bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan kemudian secara terbuka diumumkan kepada masyarakat. Berdasarkan Keputusan Presiden, MA menugaskan hakim ad hoc perikanan tersebut pada pengadilan yang sudah ada. Sedangkan pemberhentiannya sama prosesnya dengan hakim ad hoc yang lain.
Selanjutnya, Pengadilan PHI yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Hakim ad hoc Pengadilan PHI masing-masing mewakili Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), satu orang mewakili asosiasi pengusaha, dan satu orang lagi hakim karir. Hakim Adhoc PHI hanya di pengadilan tingkat pertama dan tidak ada kasasi tingkat banding. “Jadi langsung upaya hukum ke tingkat kasasi tanpa melalui proses pengadilan tinggi,” ujarnya.
Pengadilan khusus lain yang belum ada rekrutmen hakim ad hoc, yaitu yang pertama Pengadilan Kehutanan berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013. Perbedaan Hakim Adhoc Kehutanan dibanding yang lain, haik ad hoc harus direkrut seluruh Indonesia, yaitu berjumlah 356 pengadilan negeri. “Kalau dibutuhkan dua orang pada tiap pengadilan negeri maka kita harus merekrut hakim adhoc sekitar 712 orang, sampai sekarang belum dapat dilaksanakan,” jelasnya.
Tunjangan hakim ad hoc diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2013. Tunjangan hakim adhoc pada pengadilan tindak pidana korupsi tingkat pertama Rp20.500.000/bulan, pengadilan tingkat banding Rp25.000.000, dan pengadilan tingkat kasasi Rp40.000.000. Tunjangan hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan PHI tingkat pertama Rp17.500.000, pengadilan pada tingkat kasasi, karena tidak ada tingkat banding, Rp32.500.000, sementara tunjangan hakim ad hoc pada Pengadilan Perikanan hanya ada di tingkat pertama, yaitu Rp17.500.000,00.
Penjelasan MA terkait hakim ad hoc dalam rangka permohonan uji Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), Pasal 122 huruf e. Sebelas orang hakim ad hoc yang tersebar di seluruh Indonesia menilai pasal tersebut imperfect karena materi muatan yang diatur berkenaan dengan aparatur sipil negara yang berada dalam domain eksekutif, sedangkan hakim ad hoc termasuk dalam domain yudikatif dan sudah diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman.
Selain itu, dalam Pasal tersebut, hakim ad hoc tidak termasuk pejabat negara. Dampaknya, menurut Pemohon, setiap proses pemeriksaan dan produk putusan pengadilan khusus yang majelis hakimnya beranggotakan hakim ad hoc menjadi ilegal dan batal demi hukum karena tidak memiliki legitimasi dan legalitas kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara.
“Konsekuensi lain adalah apabila hakim ad hoc menerima gratifikasi dari para pihak yang berperkara, para hakim ad hoc tersebut tidak diwajibkan untuk lapor karena tidak termasuk dalam pejabat negara,” ujar Pemohon dalam sidang perdana, Senin (7/4) silam.
Pasal 122 huruf e UU ASN berbunyi:
Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu: (e) Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc.
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 122 huruf e UU ASN khususnya frasa “kecuali hakim ad hoc” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pemohon juga meminta MK menyatakan hakim ad hoc adalah pejabat negara pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. (Lulu Hanifah/mh)