Selasa (23/9), Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan perkara Pengujian Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang dimohonkan oleh lima Pemohon. Salah satu perkara MD3 yang dilanjutkan sidangnya, yaitu perkara No. 79/PUU-XII/2014 yang dimohonkan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Namun, dalam sidang yang berdurasi cukup panjang tersebut, Pemerintah maupun DPR hanya sedikit menanggapi permohonan DPD. Selebihnya, Pemerintah dan DPR lebih banyak menanggapi permohonan lainnya.
Pemerintah yang diwakili Plt. Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham, Mualimin Abdi menanggapi sedikit dalil dalam permohonan DPD. Dalil dimaksud yakni mengenai ketentuan Pasal 245 ayat (1) UU MD3 yang dianggap oleh Pemohon bersifat diskriminatif. Pasal 245 ayat (1) UU MD3 menyatakan pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Sedangkan, hal tersebut dikatakan Pemohon tidak berlaku bagi anggota DPD.
Menanggapi hal tersebut, Mualimin menyampaikan ketentuan pasal tersebut merupakan bagian dari pelaksanaan asas praduga tak bersalah, persamaan kedudukan hukum, dan berkesamaan kedudukan di muka hukum dalam rangka menjaga wibawa hukum. Pengaturan tersebut dimaksudkan bukan untuk menghalang-halangi proses penegakkan hukum dalam rangka melakukan penyelidikan dan penyidikan. Melainkan, sebagai persyaratan administratif untuk meyakinkan bahwa dugaan pidana terhadap anggota DPR telah memiliki bukti atau basis yuridis yang kuat.
“Selanjutnya di dalam Ketentuan Pasal 245 juga telah memberikan jalan keluar, yaitu apabila dalam kurun waktu tiga puluh hari persetujuan tertulis tidak diberikan, maka proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilaksanakan tanpa persetujuan tertulis dari Dewan Kehormatan Dewan. Ketentuan ini menurut Pemerintah telah memberikan kepastian hukum bagi aparat penegak hukum melaksanakan tugasnya,” jelas Mualimin.
Sementara itu DPR yang diwakili Anggota Komisi III, Aziz Syamsudin tidak banyak membahas soal permohonan DPD. DPR hanya menyerahkan jawaban tertulis terkait permohonan Pemohon ke Kepaniteraan MK.
Sementara itu Partai Nasinal Demokrat (Nasdem) yang mengajukan diri sebagai Pihak Terkait justru membenarkan dalil Pemohon. Nasdem yang diwakili kuasa hukumnya, yaitu Taufik Basari membenarkan bahwa UU MD3 cacat formil. Menurut partai yang baru mempunyai fraksi di DPR pada tahun 2014 itu, UU MD3 cacat formil salah satunya karena baru disahkan pada tanggal 8 Juli 2014 atau usai proses pemilihan anggota legislatif digelar. Padahal, UU MD3 masuk dalam pembahasan di DPR selama periode 2009-2014.
Selain itu, Partai Nasdem menyatakan seharusnya DPR menghindari conflict of interest ketika membahas rancangan UU MD3 dengan tetap menjaga asas nemo judex idoneus in propria atau tidak seorang pun dapat menjadi hakim atas perkaranya sendiri. Oleh karena itu, untuk mengetahui apakah DPR mengedepankan asas tersebut, Nasdem meminta Mahkamah untuk menelusuri dan memastikan apakah DPR sudah mengedepankan asas dimaksud. Partai Nasdem pun meminta Mahkamah untuk memastikan apakah DPR sudah melakukan pembahasan perubahan UU MD3 sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dengan menjaga imparsialitas dan mengesampingkan kepentingan dirinya sendiri. “Oleh karena itu, Pihak Terkait menyatakan bahwa pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, khususnya dalam hal pembahasan dan penetapan Pasal 84 melanggar konstitusi secara formil,” ujar Taufik Basari.
Dukumen Pembahasan
Permintaan tentang penelusuran dokumen saat pembahasan perubahan UU MD3 sebenarnya pernah dilontarkan oleh Pemohon. Namun, sampai sidang kali ini, baik DPR maupun Pemerintah belum bisa menghadirkan dokumen-dokumen pembahasan yang diminta oleh Pemohon. “Yang Mulia, pada persidangan sebelumnya DPD mengajukan permohonan agar Pemerintah dan DPR menghadirkan dokumen-dokumen pembahasan karena yang kami dapatkan kami masih meragukan kebenarkannya. Mengingat, naskah akademik yang diberikan DPD masih undang-undang perubahan, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, bukan Undang-Undang MD3. Kalau itu ada di dalam persidangan ini, saya kira menjadi sebuah kebenaran bersama” pinta kuasa hukum Pemohon, Aan Eko Widiarto sesaat sebelum sidang ditutup.
Menanggapi permintaan Pemohon, Hamdan Zoelva yang memimpin langsung sidang pleno tersebut mengatakan Mahkamah akan melakukan RPH terlebih dulu untuk memutuskan kelanjutan sidang, termasuk soal menghadirkan dokumen pembahasan RUU MD3. “Nanti akan dinilai oleh Mahkamah. Permintaan Saudara akan dimusyawarahkan oleh Mahkamah,” tutup Hamdan. (Yusti Nurul Agustin/mh)