Ketentuan Pasal 245 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dinilai merupakan bagian dari pelaksanaan asas praduga tak bersalah.
Pemerintah yang diwakili Plt. Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Mualimin Abdi mengatakan ketentuan Pasal 245 UU MD3 yang mengatur tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan merupakan bagian dari pelaksanaan asas praduga tak bersalah dan persamaan kedudukan hukum dalam rangka menjaga wibawa hukum. “Pengaturan ini bukan untuk menghalang-halangi proses penegakkan hukum, namun lebih kepada persyaratan administratif untuk meyakinkan bahwa dugaan pidana terhadap anggota DPR telah memiliki bukti atau basis yuridis yang kuat,” ujarnya dalam sidang lanjutan perkara nomor 76 dan 83/PUU-XII/2014 di ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (23/9).
Lebih lanjut, dia menilai ketentuan Pasal 245 telah memberikan jalan keluar, yaitu apabila dalam kurun waktu 30 hari persetujuan tertulis tidak diberikan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilaksanakan tanpa persetujuan tertulis dari Dewan Kehormatan Dewan. “Ketentuan ini menurut pemerintah telah memberikan kepastian hukum bagi aparat penegak hukum melaksanakan tugasnya,” imbuhnya.
Menjaga Wibawa
Senada, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai pihak terkait mengatakan prosedur penyidikan terhadap anggota DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 245 UU MD3 sama sekali tidak dimaksudkan untuk menghambat proses penegakan hukum (due process of law), akan tetapi dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi anggota DPR, serta untuk melindungi harkat martabat dan wibawa pejabat negara dan lembaga negara agar diperlakukan secara hati-hati, cermat, independen, dan tidak sewenang-wenang. “Pejabat negara dan lembaga negara dalam hal ini DPR, merupakan personifikasi dari negara, dalam hal ini Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujar Kuasa Hukum PKS Zainuddin Paru.
Dia menambahkan, ketentuan tersebut telah memberikan kepastian hukum karena sudah mengatur jangka waktu yang diberikan oleh undang-undang bagi Mahkamah Kehormatan Dewan untuk memberikan persetujuan tertulis untuk dilakukannya pemeriksaan bagi anggota dewan yang diduga melakukan tindak pidana. Aturan itu juga sudah memberikan konsekuensinya apabila Mahkamah Kehormatan Dewan tidak memberikan persetujuan tertulis sebagaimana yang diatur dalam Pasal 245 ayat (2). “Dalam hal persetujuan tertulis tidak diberikan oleh Mahkamah paling lambat 30 hari sejak diterimanya permohonan pemanggilan, maka penyidik dapat melakukan,” ujarnya.
Lebih lanjut, dalil pemohon yang mempertanyakan mengapa Mahkamah Kehormatan Dewan yang harus memberikan izin penyidikan kepada anggota DPR, bukan Presiden, Jaksa, atau lembaga lain, lantaran DPR sebagai lembaga legislatif memliki kedudukan hukum sederajat dengan Presiden selaku eksekutif. “DPR mempunyai hak yang diatur Pasal 20 ayat (1), Pasal 20A Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tentang kekuasaan untuk membentuk undang-undang. DPR memiliki fungsi legislasi anggaran dan fungsi pengawasan,” jelasnya.
Terakhir, Zainuddin mengatakan Pasal 245 UU MD3 secara tegas mengatur anggota dewan yang tertangkap tangan dan diduga terlibat dalam tindak pidana khusus, tidak perlu membutuhkan keterangan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Hal itu serta merta menjadi kewenangan penyidik untuk melakukan tugas penyelidikannya. “Dengan kata lain, apabila dugaan melakukan tindak pidana secara jelas atau minimal dengan dua alat bukti, maka tinggal menunggu waktu bagi anggota dewan itu untuk melewati proses hukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku terhadap perbuatan pidana yang dilakukannya,” pungkasnya.
Pada sidang perdana, Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana dan sejumlah pemohon perseorangan sebagai Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan dengan adanya ketentuan Pasal 245 UU MD3. Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk pembatasan dan intervensi yang dilakukan oleh lembaga di luar sistem peradilan pidana yaitu Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI dan berpotensi menimbulkan gangguan secara langsung atau tidak langsung terhadap kemerdekaan aparat penegak hukum. Pemohon menilai hal ini disebabkan oleh keharusan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya permohonan. Hal inilah yang dirasakan Pemohon akan menghambat penyidik melakukan pencarian dan pengumpulan bukti. “Dengan ketentuan tersebut, akan menghambat proses penyidikan yang juga akan menjadi beban terhadap APBN dan Pemohon merupakan pembayar pajak menjadi salah satu sumber APBN berkeberatan dengan hal tersebut,” paparnya.
Pemohon menilai tenggat waktu 30 hari dalam pasal tersebut, menjadi peluang bagi anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana untuk melakukan upaya penghapusan jejak tindak kejahatan, atau penghilangan alat bukti. Seluruh hambatan ini secara jelas dapat disebut sebagai bentuk intervensi. Pemohon juga menganggap adanya tenggat waktu juga tidak sejalan dengan prinsip cepat, sederhana, dan biaya ringan dalam proses peradilan pidana, dan memperlambat proses peradilan karena prosedur perizinan yang bertambah dan rumit, serta akan menambah biaya.
Pemohon juga mendalilkan UU tersebut melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum karena adanya tindakan diskriminatif bagi anggota DPR. Pemohon berpendapat bahwa anggota DPR sebagai subjek hukum, harus diberlakukan sama di hadapan hukum dan tidak diberikan keistimewaan saat menjalani proses hukum. Ketentuan ini menurut Pemohon bukanlah keistimewaan untuk menjaga harkat dan martabat pejabat negara, namun dapat berakibat terhambatnya proses hukum serta bertentangan dengan prinsip non diskriminasi. (Lulu Hanifah/mh)