Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) kembali diujikan secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 84/PUU-XII/2012 digelar pada Rabu (17/9) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara ini dimohonkan oleh Agus yang mewakili 449 karyawan PT Dream Sentosa Indonesia.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan berkeberatan dengan Pasal 59 angka (2) UU PPHI. Pasal 59 angka 2 UU PPHI menyatakan bahwa “Di Kabupaten/Kota terutama yang padat industri, dengan Keputusan Presiden harus segera dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat”. Pemohon seorang buruh yang mendampingi teman buruh lainnya yang saat ini sedang berproses di Mahkamah Agung dalam hal penyelesaian perselisihan oleh Pengadilan Hubungan Industrial Bandung yang secara finansial berperkara sangatlah terbatas dengan proses sangat panjang sehingga memakan waktu berbulan-bulan bahkan sampai setahun lebih.
“Itu merupakan fakta hukum telah dirugikan oleh adanya Pengadilan Hubungan Industrial yang berada pada radius di atas 100 KM yang tempatnya di Ibu Kota Provinsi Jawa Barat. Dalam hal berselisih hubungan industrial yang radius di atas 100 KM tentunya tidak menggunakan biaya yang tidak kecil yang harus dikeluarkan baik Pemohon maupun oleh pihak yang sedang berselisih seperti halnya perkara Putusan Nomor 37/G/2014/PHI/Pengadilan Bandung antara PT Gen Sentosa Indonesia dengan 449 karyawannya yang dalam putusannya tidak mendapatkan hak apa-apa,” terang Agus yang juga bertindak selaku kuasa hukum Pemohon.
Pemohon menjelaskan berdasarkan data-data di Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung, perselisihan hubungan industrial dari kota/kabupaten se-Jawa Barat lebih mendominasi dibandingkan perselisihan di provinsi. Hal ini berakibat pemohon merasa hak konstitusionalnya ‘dicekal’ dengan adanya Pasal 59 angka 2 UU PPHI. Menurutnya, frasa ‘dengan keputusan presiden’ yang terdapat dalam Pasal 59 angka 2 UU PPHI telah menimbulkan kerugian dan diskriminatif bagi khususnya pemohon yang berdomisili hukum di Kabupaten Karawang dan umumnya kabupaten/kota yang lain di seluruh wilayah NKRI yang sedang dan akan berproses di persidangan di Pengadilan Negeri Kelas 1A Provinsi. “Sehingga harus pula dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya,”
tuturnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Arief Hidayat.
Menanggapi permohonan tersebut, majelis hakim yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi Muhammad Alim dan Anwar Usman memberikan saran perbaikan kepada Pemohon. Alim mengingatkan Pemohon bahwa MK tidak berwenang untuk memerintahkan untuk membentukperadilan hubungan industrial dalam petitumnya. “Kami tidak berhak. Jadi, saya kira hapuskan saja yang nomor 5,” ujarnya.
Majelis Hakim memberikan waktu selama 14 hari bagi Pemohon untuk memperbaiki permohonan. Sidang berikutnya mengagendakan perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari/mh)