Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi mengatakan kerugian negara hanya bisa diungkap melalui pemeriksaan investigatif. Pemeriksaan tersebut baru dapat dilakukan apabila ada alasan yang cukup kuat dan akurat, sehingga pemeriksaan investigatif dapat dilaksanakan secara objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.
Menurutnya, pemeriksaan investigatif merupakan kewenangan yang boleh digunakan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengungkap indikasi perbuatan pidana yang dapat menimbulkan kerugian negara. “Dalam menggunakan kewenangan tersebut, BPK berpedoman kepada tata kerja yang berlaku di lingkungan BPK serta standar pemeriksaan,” ujarnya di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Rabu (17/9).
Frasa kata dapat yang dimuat dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, imbuh Mualimin, tidak dapat dibaca sebagai wajib karena dapat mendistorsi kewenangan konstitusional BPK dalam mengungkap kerugian negara, mendistrosi harapan masyarakat yang menghendaki BPK dapat mengoptimalkan temuan yang mengungkapkan kerugian negara, serta tidak sejalan dengan standar yang berlaku umum bagi akuntan publik.
Pasal 13 UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyatakan:
Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.
Dia melanjutkan, apabila BPK menemukan adanya unsur pidana dalam pemeriksanaan keuangan negara, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang untuk memproses penegakan hukumnya. Di sisi lain, aparat penegak hukum tetap berwenang untuk melakukan penyelidikan maupun penyidikan atas indikasi tindak pidana yang mengakibatkan kerugian negara dari sumber informasi lainnya, baik laporan atau informasi dari masyarakat, aparat pengawas, internal pemerintah atau APIP.
Lebih lanjut, terkait Pasal 11 huruf c UU BPK yang memperbolehkan BPK Republik Indonesia menghadirkan ahli internal dalam persidangan kerugian negara atau daerah, Pemerintah memandang hal tersebut sebagai kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan kepada satu lembaga. Oleh karena itu, BPK perlu menyusun suatu aturan yang bersifat teknis untuk menentukan siapa saja yang dapat mewakili BPK sebagai suatu lembaga dalam pemberian keterangan ahli. “Untuk itulah BPK dapat menerbitkan peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli,” jelasnya.
Produk Lembaga
Hasil pemeriksaan BPK bukan merupakan hasil pekerjaan individual pemeriksa atau salah satu satuan kerja di BPK seperti perwakilan BPK, tetapi merupakan produk lembaga negara BPK. Pemeriksa dan perwakilan BPK melakukan pemeriksaan berdasarkan penugasan dari BPK untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara untuk dan atas nama BPK. “Sebagai salah satu unsur penyelenggara negara, pemberian mandat dari BPK kepada para pelaksana BPK, tentunya juga mendasarkan pada asas-asas umum pemerintahan yang baik berdasarkan peraturan perundang-undangan,” imbuhnya.
Sebelumnya, Tersangka kasus Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Pengelolaan Keuangan pada Dinas Pekerjaan Umum Faisal menguji materi Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 huruf c, dan Pasal 34 ayat (1) UU BPK, serta Pasal 13 UU Pemeriksaan, Pengelolaan, dan Tanggung Jawab Keuangan Negara terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Menurut Pemohon, frasa ditetapkan dengan putusan BPK dalam Pasal 10 ayat (2) UU BPK memiliki penafsiran yang tidak pasti sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. “Penafsiran yang tidak pasti terkait siapa yang berhak menentukan ada atau tidaknya kerugian negara dan bagaimana mekanisme untuk menentukan ada-tidaknya kerugian tersebut,” ujarnya dalam persidangan perkara teregistrasi nomor 54/PUU-XII/2014 di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Rabu (16/7).
Lebih lanjut, Pasal 13 UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara terdapat kata dapat. Hal tersebut, menurut Pemohon, berpotensi menimbulkan standar pemberlakuan yang ganda, sehingga memunculkan ketidakpersamaan di hadapan hukum. “BPK RI bisa saja menerapkan pemeriksaan investigatif pada suatu kasus tertentu, namun tidak dalam kasus yang lain,” imbuhnya.
Kata dapat dalam Pasal 13 tersebut, bisa juga ditafsirkan sebagai sebuah kebolehan untuk mengungkap kerugian negara, menggunakan mekanisme pemeriksaan jenis lain selain dari mekanisme pemeriksaan investigatif. Bahkan, kata tersebut bisa ditafsirkan sebagai sebuah kebolehan bagi BPK RI untuk mengungkap kerugian negara tanpa perlu melakukan sebuah mekanisme pemeriksaan.
Selain itu, pada Pasal 11 huruf c UU BPK yang menyatakan BPK dapat memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara atau kerugian daerah, Pemohon menilai norma tersebut dapat ditafsirkan ganda. Pertama, BPK RI berwenang menunjuk pihak eksternal sebagai ahli dalam siding, misalnya kasus kerugian negara atau tindak pidana korupsi. Kedua, BPK berwenang menunjuk pihak internal dari dalam pegawai BPK sendiri sebagai ahli dalam persidangan. “Dalam kasus yang Pemohon hadapi pada saat kemarin, Yang Mulia. Bahwa sidang pada saat di tingkat pembuktiannya, BPK menghadirkan dari internal,” ungkapnya.
Adapun Pasal 10 ayat (2) UU BPK menyatakan:
Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.
Pasal 11 huruf c UU BPK menyatakan:
Keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah.
Pasal 34 ayat (1) UU BPK menyatakan:
BPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dibantu oleh Pelaksana BPK, yang terdiri atas Sekretariat Jenderal, unit pelaksana tugas pemeriksaan, unit pelaksana tugas penunjang, perwakilan, Pemeriksa, dan pejabat lain yang ditetapkan oleh BPK sesuai dengan kebutuhan.
Sedangkan Pasal 13 UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyatakan:
Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. (Lulu Hanifah/mh)