Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva ditunjuk menjadi keynote speaker dalam acara “Cetak Biru Indonesia Masa Depan dari KAHMI untuk Bangsa” yang diselenggarakan pada Selasa (15/9) di Aula MK. Dalam kesempatan itu, Hamdan menjelaskan mengenai pandangan-pandangan dari perspektif konstitusi terhadap konstruksi dan alur pikir Cetak Biru Indonesia Masa Depan dari KAHMI untuk Bangsa.
“Saya sangat sependapat bahwa apapun yang akan kita lakukan, apapun yang akan kita tempuh dalam kerangka penyelenggaraan bangsa dan negara haruslah berpijak pada konstitusi kita, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sebab, berpijak pada konstitusi merupakan konsekuensi logis atas pilihan kita terhadap prinsip supremasi konstitusi yang telah kita sepakati bersama,” jelasnya dalam acara yang dihadiri pula oleh Mantan Ketua MK Moh. Mahfud MD.
Menurut Hamdan, dalam perspektif konstitusi, Indonesia merupakan Negara Hukum. Di Negara Hukum, sistem hukum yang dibangun dan berlaku disusun hirarkis yang berpuncak pada konstitusi. Prinsip supremasi konstitusi di Indonesia, lanjutnya, diwujudkan dengan memosisikan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi negara. Kedudukan sebagai sumber hukum tertinggi karena UUD 1945 merupakan hasil kesepakatan dan perjanjian luhur seluruh rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Artinya, UUD 1945 menjadi penjuru bagi seluruh aktivitas bernegara. UUD 1945 menjadi acuan bagi segala peraturan perundang-undangan, kebijakan, dan tindakan, dalam hal ini yang terkait dengan penyelenggaraan dan pengaturan negara.
Selain itu, Hamdan menjelaskan arahan UUD 1945 sesungguhnya amat tegas dan jelas. Pertama, UUD 1945 memberikan arahan mengenai sistem hukum yang harus dibangun dan yang bersumber dari konstitusi kita. Sistem hukum ini mencerminkan kekhasan bangsa Indonesia karena berpaham Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, harmoni dan musyawarah. Jika permusyawaratan dan gotong royong yang dilandasi semangat kekeluargaan merupakan hal paling menonjol, maka dalam sistem hukum Indonesia ini, membawa perkara ke pengadilan hanyalah akan ditempuh jika penyelesaian secara musyawarah kekeluargaan secara sungguh-sungguh ternyata gagal dicapai. “Berdasarkan itu pula, saya amat sependapat jika konsep restorative justice system yang diklaim sebagai pemikiran baru untuk merespon ketidakpuasan dan rasa frustrasi terhadap sistem peradilan formal, sesungguhnya telah sejak lama menemukan basis ontologisnya dalam sistem hukum Indonesia,” terangnya dalam acara yang merupakan bagian rangkaian HUT KAHMI.
Kedua, jelas Hamdan, sistem hukum Indonesia pada prinsipnya mengambil segi-segi positif dari Rechtstaats yang lebih menekankan pada legisme dan kepastian hukum sekaligus mengambil sisi baik dari The Rule of Law yang lebih menojolkan peranan yudisial dan substansi keadilan. “Jadi dalam sistem ini, antara kepastian hukum dan keadilan substansial tidak tampak lagi gradasinya, karena keduanya tersublimasi sedemikian rupa,” paparnya.
Hamdan pun menuturkan realitas politik yang hari ini dipenuhi dengan agenda-agenda kompetisi dan kontestasi yang keras dengan mengunggulkan prinsip menang-kalah, mayoritas-minoritas, dan kompromi-transaksional, jelas sangat jauh dari idealita dan kehendak para pendiri negara ini. Jika berpegang pada arahan UUD 1945 atas sistem politik demokrasi, dalam setiap ruang-ruang politik, aktor-aktor politik dengan latar ideologi politik apapun, semestinya selalu memiliki kesadaran untuk senantiasa membuka dan memudahkan jalan bagi terciptanya musyawarah dengan menjunjung etika politik dan semangat kekeluargaan. “Kuncinya, demokrasi permusyawaratan merupakan basis moral yang mengintegrasi ke dalam denyut nadi kehidupan politik bangsa ini,” tandasnya. (Lulu Anjarsari/mh)