Menindaklanjuti nasihat majelis hakim pada persidangan sebelumnya, Pemohon uji materi Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memperbaiki permohonannya agar tidak dinyatakan ne bis in idem oleh Mahkamah Konstitusi.
Sanusi Wiradinata, Pemohon pengujian ketentuan praperadilan dalam KUHAP sebelumnya sudah mengajukan norma yang sama dan telah diputus oleh MK melalui Putusan Nomor 102/PUU-XI/2013 yang menyatakan tidak dapat menerima permohonan Pemohon. Tidak puas dengan putusan MK, Pemohon yang merupakan tersangka percobaan pemerkosaan dan kekerasan kembali menguji materi yang sama. Pemohon pun menjelaskan makna asas ne bis in idem yang berpotensi menjadi alasan MK untuk menolak permohonan dengan perkara teregistrasi nomor 67/PUU-XII/2014 tersebut.
Kuasa Hukum Pemohon Arrisman menjelaskan, menurut KUHAP asas ne bis in idem adalah seseorang tidak dapat dituntut lantaran perbuatan atau peristiwa yang baginya telah diputus oleh hakim. “Asas ne bis in idem sesungguhnya merupakan asas yang digunakan oleh peradilan atas hal mengadili perbuatan konkret, sedang dalam proses peradilan di Mahkamah, khususnya berkenaan dengan kewenangan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, merupakan peradilan yang mengadili norma, bukan mengadili perbuatan konkret,” ujarnya di ruang sidang MK, Jakarta, Selasa (16/9).
Berdasarkan hal tersebut, menurut Pemohon ne bis in idem merupakan asas yang tidak dapat dipergunakan dalam peradilan norma dikarenakan MK merupakan peradilan yang menguji norma abstrak yang juga menguji penilaian hak konstitusionalitas terhadap norma abstrak yang hendak diujikan. Oleh karena itu, permohonan Pemohon beralasan hukum untuk tidak dinyatakan ne bis in idem.
Sebelumnya, Pemohon menilai ketentuan Pasal 77 huruf a telah membatasinya mengajukan praperadilan berkaitan dengan penetapan tersangkanya yang tidak sah. Pemohon ingin adanya penetapan tersangka tidak sah, berita acara pemeriksa tersangka tidak sah, penyidikan perkara pidana tidak sah, pengurangan hak kebebasan tersangka tidak sah, dan penuntutan tersangka tidak sah.
Adapun Pasal 77 huruf a KUHAP menyatakan:
“Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.”
Permohonan praperadilan yang diajukan Sanusi sebagai Pemohon telah diterima sebagian oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Permohonan yang dikabulkan adalah menyatakan tidak sah penangkapan Pemohon yang dilakukan oleh Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya. Namun, PN Jaksel menolak permohonan pembatalan surat perintah penahanan dan BAP perkara.
Oleh karena itu, Pemohon yang merasa dikriminalisasi oleh Polda Metro Jaya meminta MK menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan Konstitusi. “Menyatakan Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai tidak termasuk sah atau tidaknya penetapan tersangka, Berita Acara pemeriksaan tersangka, penyidikan perkara pidana, pengurangan hak kebebasan tersangka atau penuntutan tersangka,” ujar Kuasa Hukum Pemohon Yudi Anton, Rabu (3/9).
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Aswanto, dengan Arief Hidayat dan Anwar Usman sebagai anggota meminta Pemohon untuk melakukan perbaikan konstruktif terhadap permohonannya. Pasalnya, Pemohon sudah pernah mengajukan kasus yang sama dan telah dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK melalui Putusan Nomor 102/PUU-XI/2013. “Kalau itu diajukan kembali tanpa ada perbaikan-perbaikan yang konstruktif, bisa dinyatakan ne bis in idem nanti,” ujar Arief. (Lulu Hanifah/mh)