Pemerintah mengatakan tujuan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) adalah untuk lebih meningkatkan keadilan dalam pengenaan pajak dan memberikan kemudahan bagi wajib pajak.
Diwakili Plt. Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Mualimin Abdi, Pemerintah menjelaskan materi UU PPh berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yaitu dianut secara universal, yaitu adanya nilai-nilai keadilan, kemudahan, efisiensi administrasi, serta peningkatan dan optimalisasi penerimaan negara dengan tetap mempertahankan sistem self assessment. Terkait dengan anggapan Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan tersebut telah memperlakukan Pemohon secara diskriminatif karena usaha Pemohon di bidang pengangkutan, namun perlakuan pajaknya dibedakan dengan jenis angkutan yang lain, Pemerintah menyatakan pengertian penghasilan dalam Undang-Undang PPH ini tidak memperhatikan adanya pengahasilan dari bidang usaha tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis sehingga dapat tercapai keadilan bagi para wajib pajak.
Pengaturan perpajakan, jelas Mualimin, juga didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan dalam sistem perpajakan yang dianut secara universal, yakni prinsip keadilan horizontal dan vertikal. “Keadilan horizontal dalam hal ini adalah untuk wajib pajak dengan kondisi kemampuan atau penghasilan yang sama harus dikenakan jumlah pajak yang sama,” ujarnya di ruang sidang MK, Jakarta, Selasa (16/9).
Sementara, keadilan vertikal diartikan semakin tinggi kemampuan ekonomis wajib pajak, semakin tinggi pula beban pajak yang dikenakan. Konsep ini yang mendasari pengenaan pajak secara progresif seperti dianut rezim pajak penghasilan di Indonesia dengan tarif yang progresif sesuai dengan ketentuan Pasal 17 UU PPh. “Hal tersebut, Yang Mulia, bertujuan agar dapat tercapai keadilan bagi para wajib pajak di mana wajib pajak yang mendapatkan penghasilan tinggi akan menanggung beban pajak yang lebih tinggi dibandingkan dengan wajib pajak yang mendapatkan penghasilan rendah,” imbuhnya.
Menurut Pemerintah, pemajakan atas penghasilan tidak didasarkan atas bidang usahanya, tetapi pada jenis penghasilannya. Oleh karena itu, dimungkinkan atas penghasilan yang berasal dari satu bidang usaha yang sama dapat dilakukan pemotongan atau pemungutan dengan tarif yang berbeda tergantung dengan jenis penghasilan yang menjadi dasar pengenaan pajaknya. Hal demikian justru telah mewujudkan nilai-nilai kepastian hukum dan tidak memberlakukan secara diskriminatif terhadap wajib pajak.
Lebih lanjut, Frasa “memberikan delegasi kepada menteri keuangan” Pasal 23 ayat (2) UU PPh dinilai Pemerintah telah sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. “Menurut hemat kami, permohonan para Pemohon tidak terkait sama sekali dengan isu-isu konstitusionalitas keberlakuan norma yang dimohonkan untuk diuji tersebut,” ujarnya.
Sebelumnya, perusahaan pelayaran PT Cotrans Asia menguji Pasal 23 ayat (2) UU PPh yang dinilai memberikan ketidakpastian hukum. Diwakili kuasa hukumnya Denny Kalimalang, Pemohon menilai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, memakai frasa ‘jenis jasa lain’ dalam pasal tersebut termasuk pemotongan pajak penghasilan. Hal tersebut, imbuh Pemohon, tidak dapat dilakukan lantaran jenis jasa Pemohon masuk dalam lingkup pelayaran yang memiliki karakteristik berbeda dari jenis usaha lainnya sehingga semestinya tunduk pada UU Pelayaran.
Lebih lanjut, Pemohon menilai frasa ‘jenis jasa lain’ dalam Pasal 23 ayat (2) UU PPh telah tumpang tindih dengan UU lain yang mengatur bidang usaha tertentu sehingga telah melanggar asas-asas pembentukan perundang-undangan. Apalagi, sebelum direvisi, pasal yang sama tidak pernah memberikan kewenangan kepada siapapun untuk menentukan pungutan pajak atas penghasilan ‘jasa lain’, tetapi hanya menentukan siapa pihak pemotong pajak.
Adapun Pasal 23 ayat (2)UU PPh berbunyi:
“Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan”
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK untuk menyatakan frasa ‘jenis jasa lain’ dalam pasal tersebut inkonstitusional sepajang dimaknai dengan tanpa memperhatikan UU lain yang telah mengatur klasifikasi lapangan/bidang usaha tertentu. (Lulu Hanifah/mh)