Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (UU Lambang Negara) pada Senin (15/9) di Ruang Sidang Pleno. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 66/PUU-XII/2014 ini dimohonkan oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) yang diwakili oleh Victor Santoso Tandiasa.
Dalam sidang kedua tersebut, Victor menjelaskan telah melakukan perbaikan permohonan disesuaikan dengan saran majelis hakim pada sidang sebelumnya. Victor menjelaskan ada penambahan dua pemohon perseorangan. “Pemohon tambahan yakni Erwin Agusten dan Eko Santoso dari perwakilan Serikat Buruh di Surakarta yang juga pernah terkena kasus penggunaan lambang negara yang juga terkena vonis 1 tahun,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Aswanto.
Victor pun menjelaskan telah mengubah kerugian konstitusional pemohon. Ia telah menspesifikasikan kerugian yang dialami para pemohon. “Kerugian konstitusionalnya itu sangat jelas dengan tidak berkurangnya kreativitas kami untuk bisa melakukan pembuatan-pembuatan nama negara yang sebenarnya tidak ada unsur untuk melawan penghinaan,” terangnya.
Dalam sidang sebelumnya pada Senin (3/9), Victor yang hadir tanpa diwakili oleh kuasa hukumnya pernah mengajukan uji materiil UU tersebut dengan pasal yang sama dengan nomor registrasi perkara Nomor 4/PUU-X/2012 pada tahun 21012 lalu. Namun Victor menjelaskan bahwa permohonan kali ini, berbeda dengan permohonan sebelumnya. Jika sebelumnya Pemohon mendalilkan untuk menyatakan seluruh Pasal 57 huruf c dan d UU Lambang Negara, maka kali pemohon hanya mendalilkan keberatan dengan adanya frasa “menyerupai lambang Negara” dalam Pasal 57 huruf c UU Lambang Negara. Pasal 57 huruf c menyebutkan bahwa “c. membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara”.
Menurut Pemohon, cara mempergunakan lambang kenegaraan bukan untuk penghinaan terhadap lambang negara, melainkan sebagai bentuk ekspresi nasionalisme masyarakat terhadap lambang negara. Selain itu, Pemohon mendalilkan frasa mengenai “menyerupai lambang negara” Pasal 57 huruf c UU 24/2009 dan Pasal 69 huruf b UU 24/2009 tidak tepat karena larangan tersebut diikuti dengan ancaman pidana yang seharusnya ketentuan mengenai perbuatan yang diancam pidana harus memenuhi rumusan yang bersifat jelas dan tegas (lex certa), tertulis (lex scripta), dan ketat (lex stricta). Untuk itulah, Pemohon meminta agar Pasal 57 huruf c dan Pasal 69 huruf b dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. (Lulu Anjarsari/mh)