Pemohon perkara nomor 69/PUU-XII/2014 yang mempersoalkan rekapitulasi suara berjenjang pada pemilihan umum presiden dan wakil presiden (Pilpres) memperbaiki permohonannya. Pemohon memperbaiki pokok permohonan dan petitum sesuai nasihat majelis hakim.
Sejumlah warga negara yang menguji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tetang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) memperbaiki permohonannya. Diwakili Kuasa Hukum Tito Hananta Kusuma, Pemohon menghapus bagian pendahuluan dan menggantinya dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Pemohon juga menegaskan hak konstitusionalnya yang dirugikan dengan berlakunya Pasal 141 hingga Pasal 156 UU Pilpres. “Dengan diberlakukannya Pasal 141 sampai dengan Pasal 156 UU Pilpres, di mana sistem rekapitulasi secara berjenjang sangat dirasakan tidak tercapainya asas jujur dan adil, tidak efektif dan efisien,” ujar Tito di ruang sidang MK, Jakarta, Senin (15/9).
Menurut Pemohon, sistem rekapitulasi suara berjenjang pada Pasal 141 sampai Pasal 156 UU Pilpres telah melanggar UUD 1945 dengan penghilangan substansi dari pemilihan umum, yaitu melanggar asas pemilu jujur dan adil, melanggar asas kepastian hukum, melanggar prinsip anggaran yang bertanggung jawab, melanggar hak memperoleh informasi hak untuk bebas dari ancaman, serta telah menodai nilai demokrasi. Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK menyatakan sistem rekapitulasi suara berjenjang pada Pasal 141 sampai Pasal 156 UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sebelumnya, sejumlah warga negara selaku Pemohon menguji materi UU Pilpres yang mengatur secara spesifik ketentuan sistem dalam rekapitulasi suara. Pada Pilpres, rekapitulasi suara melalui empat tingkatan, yakni kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga nasional. “Keseluruhan sistem tersebut memproduksi persoalan atau menjadi sebab problematika yang merugikan pemilih dan para kontestan karena adanya pencurian dan penggelembungan suara yang terjadi selama proses rekap di setiap jenjang rekap hingga empat sampai lima tingkatan,” ujar Kuasa Hukum Pemohon, Selasa (2/9).
Terjadinya penggelembungan suara, sambungnya, melibatkan politik uang antara peserta dengan penyelenggara pemilu di semua tingkatan. Terlebih, tidak dipakainya dokumen otentik hasil dari perhitungan pertama di TPS sebagai dasar rekap berjenjang, digantikan dengan dokumen salinan berupa sertifikat hasil perhitungan suara yang menyebabkan ketidakpastian hukum dalam hal pembuktian ketika muncul sengketa pemilu.
Penyalinan dokumen ke dalam sertifikat baru pada setiap tingkatan, dinilai Pemohon ikut memproduksi rekayasa secara berjenjang hingga empat sampai lima kali yang terjadi dengan berbagai modus dari salah catat oleh panitia hingga kesengajaan. Selain itu, proses berjenjang empat sampai lima tingkatan melibatkan logistik dan kepanitiaan yang besar, sehingga banyak menghabiskan tenaga waktu dan biaya. “Proses rekap berjenjang yang memakan waktu hingga sebulan juga membawa kerawanan dalam masyarakat, terutama berpengaruh negatif pada lingkungan bisnis,” imbuhnya. (Lulu Hanifah/mh)