Mahkamah Konstitusi memutus mengabulkan permohonan sejumlah pekerja Pertamina pada Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan. Dengan dikabulkannya permohonan tersebut, upah buruh akan didahulukan pembayarannya apabila perusahaan mengalami pailit.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” ujar Ketua MK Hamdan Zoelva mengucapkan amar putusan di ruang sidang pleno, MK, Jakarta, Kamis (11/9).
MK menyatakan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditor separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditor separatis”.
Adapun Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan berbunyi:
“Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya”.
Pemohon menilai frasa “yang didahulukan pembayarannya” berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar hak rasa adil bagi para pekerja. Pasalnya, dalam mekanisme pelunasan utang perusahaan yang pailit adalah bertingkat, yaitu pembayaran dirprioritaskan kepada (1) utang negara dan biaya kurator, (2) kreditor separatis pemegang jaminan gadai, fidusia, dan/atau hak tanggungan, (3) kreditor preferen, dan kreditor konkuren.
Dalam pertimbangannya, MK mengatakan dasar hukum bagi kreditor separatis dan bagi pekerja/buruh adalah sama, yaitu perjanjian yang dilakukan dengan debitor. Kendati demikian, apabila dilihat dari aspek lain, yaitu aspek subjek hukum yang melakukan perjanjian, objek, dan risiko, antara keduanya terdapat perbedaan yang secara konstitusional signifikan. Dalam aspek subjek hukum, perjanjian gadai, hipotik, dan fidusia serta perjanjian tanggungan lainnya merupakan perjanjian yang dilakukan oleh pengusaha dan pemodal yang secara sosial ekonomis dapat dikonstruksikan sama. Sebaliknya, perjanjian kerja merupakan perjanjian yang dilakukan oleh subjek hukum yang berbeda, yaitu pengusaha dan pekerja/buruh.
Secara sosial ekonomis, pekerja/buruh lebih lemah dan lebih rendah daripada pengusaha. “Selain itu, hak-hak pekerja/buruh telah dijamin oleh UUD 1945, maka UU harus memberikan jaminan perlindungan untuk dipenuhinya hak-hak para pekerja/buruh tersebut,” ujar Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati membacakan pertimbangan hukum.
Lebih lanjut, dalam perjanjian kerja, objeknya adalah tenaga atau keterampilan dengan imbalan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup bagi diri dan keluarga pekerja/buruh. Berbeda dengan perjanjian dengan pemodal atau pengusaha yang objeknya adalah properti. Menurut Mahkamah, kepentingan manusia terhadap diri dan kehidupannya harus menjadi prioritas sebelum kreditor separatis. (Lulu Hanifah/mh)