Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutus perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau biasa disebut KUHAP yang dimohonkan oleh Ferry Tansil, Kamis (11/9). Dalam amar putusannya, Mahkamah memberikan penafsiran konstitusional terhadap bunyi Pasal 197 ayat (1) huruf l KUHAP untuk menghindari keraguan dan untuk memberikan kepastian hukum yang adil dalam penerapan ketentuan pasal tersebut.
Ketua MK, Hamdan Zoelva yang memimpin langsung sidang pengucapan putusan ini membacakan tafsir konstitusional pasal tersebut. Dalam amarnya, MK memaknai Pasal 191 ayat (1) huruf l KUHAP yang menentukan surat putusan pemidanaan memuat antara lain “hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera”, bertentangan dengan UUD 1945 apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf l KUHAP mengakibatkan putusan batal demi hukum.
“Amar Putusan. Mengadili. Menyatakan, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Mahkamah memaknai Pasal 197 ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengakibatkan putusan batal demi hukum. Pasal 197 ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengakibatkan putusan batal demi hukum. Pasal 197 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana selengkapnya menjadi, ‘Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, dan j pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya,” kata Hamdan.
Mahkamah menyatakan konstitusionalitas Pasal 197 ayat (1) dan ayat (2) sudah pernah diujikan. Bahkan, MK sudah pernah memutus dalam perkara Putusan Nomor 69/PUU-X/2012 bertanggal 22 November 2012. Daam putusan tersebut, Mahkamah menyatakan Pasal 197 ayat (1) huruf k UU 8/1981 secara formal merupakan ketentuan yang bersifat imperative atau mandatory kepada pengadilan. Bila pengadilan atau hakim tidak mencantumkan dalam putusan yang dibuatnya, maka akan menimbulkan akibat hukum tertentu.
Meskipun demikian, menurut Mahkamah, secara materiil-substantif kualifikasi imperative atau mandatory-nya seluruh ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP tidaklah dapat dikatakan sama atau setingkat. Terlebih lagi, bila membacanya dikaitkan dengan pasal-pasal lain sebagai satu kesatuan sistem pengaturan. Di dalam penjelasan pasal tersebut juga dinyatakan apabila terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan, maka kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum.
Putusan Nomor 69/PUU-X/2012 tersebut menurut Mahkamah telah pula memberikan makna bahwa Pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP mengakibatkan putusan batal demi hukum. Sama halnya dengan kasus ini, dalam praktik terkadang surat putusan pemidanaan pengadilan lalai mencantumkan syarat yang disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf l sehingga berdasarkan ketentuan ayat (2) pasal tersebut putusan menjadi batal demi hukum.
Tafsir Konstitusional
Meski demikian, menurut Mahkamah ketentuan tersebut masih dapat menimbulkan keraguan dan ketidakpastian hukum dalam penerapannya. Dengan kata lain, akan timbul kebingungan mengenai adil atau tidaknya jika hanya karena adanya kekeliruan administratif, seseorang yang secara substantif seharusnya dipidana menjadi bebas. Contohnya, seperti Pemohon yang surat pemidanaannya tidak mencantumkan syarat formal seperti yang dinyatakan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf l KUHAP. Bila surat tersebut dinyatakan batal demi hukum dan Pemohon dibebaskan hanya karena alasan administratif, tentu saja akan menimbulkan ketidakadilan.
“Oleh karena itu, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Untuk menghindari keraguan dan untuk memberikan kepastian hukum yang adil dalam penerapan Pasal 197 ayat (1) huruf l dan ayat (2) Undang-Undang a quo, Mahkamah harus memberikan penafsiran sendiri terhadap pasal tersebut sebagaimana yang akan dimuat dalam amar putusan,” ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman membacakan pertimbangan hukum Mahkamah.
Sebagaimana diketahui, Pemohon dalam permohonannya mendalilkan Pasal 197 ayat (1) huruf l dan Pasal 197 ayat (2) KUHAP bersifat multitafsir. Pasal 197 ayat (1) tersebut menyatakan surat putusan pemidanaan memuat antara lain “hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera”. Apabila tidak pernuhi syarat tersebut, maka berdasarkan ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Menurut Pemohon, ketentuan tersebut bersifat perintah (imperative) dan bersifat memaksa (mandatory) yang harus dicantumkan pada semua putusan pengadilan dari segala tingkatan, baik tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi maupun Mahkamah Agung. Akan tetapi norma tersebut sering hanya berlaku pada pengadilan tingkat pertama, sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum sebagaimana yang dialami oleh Pemohon.
Pemohon pada sidang pendahuluan yang digelar 13 Juli 2013 lalu menyampaikan surat pemidanaan yang ditujukan padanya tidak mencantumkan hari dan tanggal putusan, nama penuntut hukum, nama hakim yang memutus, serta nama panitera yang bertugas. Pemohon juga mengatakan dalam putusan pengadilan tinggi maupun Mahkamah Agung hingga upaya hukum luar biasa (PK) ketentuan pada Pasal 197 tersebut tidak pernah dicantumkan. (Yusti Nurul Agustin/mh)