Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (UU Kepabeanan) diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (10/9) di Ruang Sidang Panel MK. Perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 80/PUU-XII/2014 ini dimohonkan oleh Moch. Ojat Sudrajat yang mewakili Koperasi Karya Usaha Mandiri (KKUM).
Dalam pokok permohonannya, Pemohon berkeberatan dengan berlakunya Pasal 27 ayat (1) huruf e UU Kepabeanan. Pasal 27 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 menyatakan Pengembalian dapat diberikan terhadap seluruh atau sebagian bea masuk yang telah dibayar atas: e) kelebihan pembayaran bea masuk akibat putusan Pengadilan Pajak. Kerugian konstitusional yang dimaksud Pemohon adalah Pemohon tidak mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan yaitu Bea Masuk terhadap suatu barang yang sudah dibayarkan pada tahun 2008 sejumlah Rp. 235.173.819.
Menurut penjelasan Pemohon, sebelumnya pihak KKUM telah melakukan pembayaran Pemberitahuan Impor Barang (PIB) berupa “Pajak Dalam Rangka Import (PDRI) dan Bea Masuk (BM)” atas Bill of Landing dalam rangka perubahan balik nama dalam kolom “consignee” dan/atau “notity party” yang lebih dikenal dengan istilah redress dengan pihak PT. General Laju Machinery Indonesia (PT. GLMI). Namun di sisi lain pihak PT. GLMI melakukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Utara sehingga proses pengeluaran atas pembayaran PIB tidak dapat dilanjutkan, padahal saat itu pihak KKUM tidak mengetahui dan tidak mendapat pemberitahuan akan gugatan tersebut dari Pihak Bea dan Cukai Tanjung Priok, sehingga pihak KKUM tetap melakukan pembayaran PIB untuk “notify party” terakhir sebanyak Rp.362.559.634,-. Atas dasar gugatan perdata tersebut, pihak KKUM mengajukan pengembalian PDRI dan Bea Masuk yang sudah dibayarkan.
Menurut keterangan Pemohon, PDRI tersebut telah dikembalikan, akan tetapi permohonan pengembalian Bea Masuk ditolak oleh pihak Direktorat Jenderal Bea dan Cukai c.q Direktorat PPKC dengan mendasarkan kepada Pasal 27 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. “Persoalannya adalah bagaimana uang PIB, uang bea masuk dan pajak dalam rangka impor yang telah kami bayarkan,” jelas Ojat.
Ojat mengaku pihaknya telah mengajukan permohonan pengembalian sejak 2008 sampai dengan 2014. Namun jawaban dari pihak Direktorat Jenderal Bea dan Cukai selalu mengatakan bahwa tidak ada peraturan yang bisa memungkinkan pengembalian dana tersebut. Hal ini karena Pasal 27 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan tersebut dinyatakan bahwa pengembalian dana atas bea masuk baru bisa dilakukan apabila hasil putusan pengadilan pajak. “Sementara ranah kami adalah pengadilan umum, dalam hal ini ranah perdata,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Muhammad Alim.
Menurut Pemohon, Pasal 27 UU tersebut inkonstitusional, karena tidak memberikan kesempatan pada setiap orang untuk mendapatkan pengembalian Bea Masuk yang sudah mereka bayarkan disebabkan adanya gugatan perdata. Pemohon juga menambahkan bahwa dengan adanya pembatasan mengenai “Pengadilan Pajak” sebagai lembaga banding yang dapat diakomodir dalam ketentuan tersebut, menyebabkan hal-hal yang menyangkut mengenai keperdataan diabaikan oleh ketentuan tersebut. Pemohon juga menilai bahwa aturan dalam UU tersebut bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, karena dalam hal ini Pemohon merasa tidak aman dan terganggu akibat dari tidak dapat membayar pihak ketiga, hal tersebut disebabkan karena Bea Masuk yang disetorkan merupakan dana pihak ketiga sehingga Pemohon harus mengembalikannya
Dengan alasan tersebut, para Pemohon meminta MK untuk menyatakan dan memerintahkan untuk menambah atau mengubah ketentuan dalam Pasal 27 ayat (1) UU Kepabeanan menjadi “Pengembalian dapat diberikan terhadap seluruh atau sebagian Bea Masuk yang telah dibayarkan atas: e) Kelebihan pembayaran Bea Masuk sebagai akibat putusan pengadilan pajak dan pengadilan umum baik perdata maupun pidana”.
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang juga dihadiri oleh Hakim Konstitusi Aswanto dan Wahiduddin Adams memberikan saran perbaikan kepada Pemohon. Aswanto meminta pemohon untuk memperjelas kedudukan hukumnya sebagai perseorangan atau badan hukum privat.
“Legal standing ini sebagai perseorangan atau mewakili Koperasi Karya Usaha Mandiri itu? Nah, kalau mewakili atau atas nama Koperasi Karya Usaha Mandiri itu kan musti ada struktur organisasinya, ya, apa posisinya Saudara di dalam organisasi itu, atau kalau memang secara perseorangan Saudara mengajukan permohonan maka harus Saudara elaborasi tentang kerugian konstitusional yang secara pribadi Saudara alami karena untuk mengajukan permohonan itu salah satu syaratnya adalah bahwa Pemohon dengan adanya norma yang akan diuji itu potensial atau faktual mengalami kerugian konstitusional,” tandasnya. (Lulu Anjarsari/mh)