Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak seluruh permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pemohon adalah Prof. Dr. O.C. Kaligis, S.H., dkk. “Amar putusan, mengadili, menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” demikian dibacakan Ketua Pleno Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva yang didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan MK, Kamis (11/9) sore.
Mahkamah berpendapat, peranan wadah tunggal organisasi advokat sama sekali tidak menghalangi hak untuk mendapatkan pendidikan serta kepastian dan perlakuan yang sama di hadapan hukum dalam menyelenggarakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA). Maksud dibentuknya organisasi advokat adalah untuk memberikan pengayoman, pembinaan, dan pendidikan profesi advokat kepada para anggotanya agar mampu menguasai disiplin hukum, materi hukum, berpraktik sebagai advokat yang berkualitas dan profesional.
Menurut Mahkamah, karena organisasi advokat bertujuan meningkatkan kualitas profesi advokat, organisasi advokat harus mampu menentukan dan mengatur perekrutan calon anggotanya, mulai dari latar belakang, ilmu pengetahuan yang dimiliki, pendidikan yang harus diikuti, menjalankan ujian yang baik, serta program magang agar calon advokat berkesempatan dibimbing, dilatih, dan praktik supaya menjadi insan profesional sebagai implementasi ilmu pengetahuan yang telah dikuasainya.
Dengan adanya persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon advokat melalui organisasi advokat untuk melaksanakan pendidikan dan ujian serta pengangkatan dan pelantikan advokat merupakan perwujudan untuk peningkatan kualitas profesi advokat yang menjalankan profesi mulia (officium nobile), yang pada akhirnya ke depan para advokat dapat membangun keadilan di tengah-tengah masyarakat dalam peranannya pada proses penegakan hukum di Indonesia.
Pengujian konstitusionalitas yang dimohonkan oleh Pemohon, menurut Mahkamah, merupakan norma yang mengatur salah satu syarat menjadi advokat yang harus telah mengikuti PKPA yang dilaksanakan oleh organisasi advokat sebagai satu-satunya wadah profesi advokat, dalam rangka meningkatkan kualitas profesi advokat. Ketentuan tersebut justru diperlukan guna memberikan kepastian terhadap kualifikasi calon advokat yang harus mengikuti pendidikan calon advokat di bawah kontrol dan supervisi dari organisasi advokat.
Hal itu tidak berarti terdapat larangan bagi badan hukum atau organisasi lain selain Peradi untuk menyelenggarakan pendidikan profesi advokat sebagaimana yang telah diselenggarakan oleh Pemohon. Hanya saja, penyelenggaraan tersebut harus tetap berada di bawah kontrol dari organisasi advokat yang diberikan mandat oleh Undang-Undang untuk mengangkat, mengawasi, dan memberhentikan advokat.
Menurut Mahkamah, permohonan Pemohon bukanlah konstitusionalitas norma, tetapi merupakan persoalan implementasi norma dalam pelaksanaan PKPA. Namun demikian, terlepas dari pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah perlu memberikan penilaian bahwa seharusnya ketentuan tersebut tidak dijadikan celah oleh salah satu pihak yang melaksanakan Perjanjian Kerjasama Pelaksanaan PKPA justru perjanjian kerja sama pelaksanaan PKPA dilaksanakan sebagaimana mestinya. Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Sebagaimana diketahui, Pemohon melakukan uji materi UU Advokat dengan alasan bahwa Pasal 2 ayat (1) UU a quo menyatakan, “Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat.”
Ketentuan tersebut di atas, bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak memperoleh pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. (Nano Tresna Arfana/mh)