Merasa diperlakukan tidak adil, seorang anggota kepolisian, Brigadir Polisi Dua (Bripda) Daniel Liunome, mengajukan pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam sidang pendahuluan perkara No. 81/PUU-XII/2014, Kamis (11/9), kuasa hukum Pemohon, Sutopo Simbolong mengatakan, Pasal 67 ayat (b) yang berbunyi Permohonan Peninjauan Kembali Putusan Perkara Perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut: ayat (b): apabila setelah perkara diputus ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan, telah mengakibatkan kerugian konstitusional bagi Pemohon.
Sutopo mengatakan, adanya ketentuan tersebut menyebabkan MA mengabulkan proses Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya, terkait dengan pemberhentian Bripda Daniel Liunome dari kedudukannya sebagai anggota kepolisian. Pemohon berpendapat, norma tersebut tidak secara jelas dan tegas menyebutkan ada atau tidaknya bukti baru (novum) sebagai dasar untuk peninjauan kembali (PK).
Terhadap permohonan tersebut, Majelis Hakim Konstitusi memberikan nasihat kepada Pemohon untuk menjelaskan kerugian konstitusionalnya, berdasar pasal-pasal dalam Undng-Undang Dasar (UUD) yang dijadikan sebagai batu uji dalam permohonan tersebut. Majelis Hakim Konstitusi juga mengingatkan kepada Pemohon, apabila pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan konstitusi, maka tidak ada lagi yang boleh mengajukan PK ke MA. Selain itu, Majelis Hakim Konstitusi juga mengingatkan kepada Pemohon bahwa ketentuan tersebut pernah diuji dan diputus oleh MK, oleh karena itu Pemohon diminta untuk memberikan argumentasi konstitusi yang berbeda bahwa ketentuan tersebut menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon.
Sebagai informasi, pada 9 Juli 2009, Bripda Daniel Liunome pernah divonis 9 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Bekasi karena terbukti secara sah melakukan tindak pidana merampas kemerdekaan orang. Usai dari jeruji besi, Daniel menghadapi Sidang Komisi Kode Etik dan sejak 30 April 2011, Daniel resmi dipecat dari korps Bhayangkara tersebut. Namun, Daniel tidak terima dan mengugat Kepala Polisi Daerah Metro Jaya. Daniel berdalih Polda Metro Jaya tidak memberikan bantuan hukum selama dirinya disidang di PN Bekasi. Di sisi lain, atasan langsung Daniel juga memberikan surat rekomendasi pada 19 Juli 2010 yang menyatakan dirinya masih layak menjadi anggota Polri.
Akhirnya, pada 18 November 2011, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mencabut dan membatalkan SK pemecatan Daniel. Majelis hakim berpendapat, SK tersebut bertentangan dengan pasal 12 ayat 1 huruf a PP No 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri dan bertentangan dengan asas kecermatan dan asas ketelitian. Akan tetapi, atas vonis ini, Kapolda Metro Jaya mengajukan banding dan kasasi, tetapi kandas. Lantas, di tingkat PK, MA mengabulkan permohonan tersebut pada 23 Mei 2013. Putusan bernomor 41/PK/TUN/2013 tersebut juga menyatakan menolak adanya novum yang seharusnya menjadi dasar adanya PK. Akibat putusan tersebut, Daniel merasa didiskriminasi karena PK yang diajukan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya dikabulkan oleh MA dengan putusan yang menolak adanya novum. Untuk itu, dirinya meminta MK memberikan tafsir atas Pasal 67 ayat (b) UU MA tersebut. (Ilham/mh)