Pemerintah menghadirkan tiga orang ahli dalam sidang lanjutan perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dimohonkan oleh tersangka kasus Bioremediasi fiktif, Bachtiar Abdul Fatah. Philipus M. Hadjon, Alexander Sonny Keraf, dan Enri Damanhuri hadir menyampaikan keahliannya pada sidang yang digelar Selasa (9/9) di Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Ketiganya sepakat menyatakan MK harus menolak seluruh gugatan Pemohon.
Pakar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi, Philipus M. Hadjon menyatakan dalam hukum administrasi ada empat fungsi perizinan. Keempatnya, yaitu untuk mencegah bahaya, melindungi objek tertentu, distribusi benda atau barang langka, dan seleksi orang atau aktivitas tertentu. Dalam konteks pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), fungsi izin adalah untuk mencegah bahaya dan mengarahkan aktivitas tertentu.
Dalam pengelolaan limbah B3, lanjut Hadjon, mutlak diperlukan izin. Dari sisi administrasi, pengelolaan limbah juga mutlak dilakukan karena menimbulkan bahaya. Dengan kata lain, fungsi izin dalam pengelolaan limbah sebagai instrumen prefentif, bukan instrumen represif. “Oleh karena itu adalah sangat tidak tepat kalau kita mempertentangkan Pasal 59 ayat (1) dengan Pasal 102 Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup,” ujar Hadjon.
Perizinan Mutlak Ada
Sementara itu, Enri Damanhuri selaku Ahli Lingkungan Hidup dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menyampaikan limbah B3 sangat perlu untuk dikelola secara khusus. Penggunaan bahan kimia, lanjut Damanhuri, dalam kebudayaan manusia sudah dimulai sejak zaman dahulu dengan mengekstrak perut bumi. Proses tersebut pada akhirnya menghasilkan limbah kimia yang tidak dibutuhkan. Namun karena alam tidak mampu lagi menetralisir limbah, maka terjadilah pencemaran lingkungan yang dapat mencemari sumber-sumber air minum.
Damanhuri pun memberikan contoh pencemaran lingkungan yang merugikan manusia. Salah satu pencemaran bahan kimia terjadi di Teluk Minamata Jepang. Pada tahun 1932 sekitar 600 ton limbah bahan merkuri sejak tahun dibuang ke Teluk Minamata dan menyebabkan munculnya penyakit minamata. Namun, dampak pembuangan limbah tersebut terhadap kesehatan tidak muncul seketika, melainkan berlangsung lama.
Kasus lain, lanjut Damanhuri, juga pernah terjadi di Amerika Serikat (AS). Kasus yang terkenal dengan nama Canal Love tersebut disebabkan pembuangan limbah berbahaya di daerah sekitar Air Terjun Niagara. Bertahun kemudian, muncul berbagai gejala penyakit yang dialami penduduk sekitar. Setelah dilakukan analisa kualitas lingkungan di sekitarnya, diketahui air dan udara di daerah itu mengandung bahan-bahan kimia toxic melebihi toleransi batas kesehatan manusia. Akhirnya, Pemerintah AS melakukan program pemulihan tanah (bioremediasi).
“Kasus love canal ini mengubah sudut pandang manusia terhadap limbah jenis lain yang berdampak jangka panjang, berdampak kepada penyakit yang sifatnya kronis pada manusia. Pada tahun 1976, Amerika mengubah regulasinya tentang pengelolaan limbah secara drastis dan memunculkan konsep pengelolaan limbah berbahaya hazard dose waste management management dalam regulasinya yang terkenal yaitu Resource Conservation and Recovery Act. Konsep regulasi Recra (RCRA) ini menginsipirasi banyak negara, termasuk Indonesia dalam pengelolaan limbahnya dengan munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Racun atau Limbah B3. Konsepnya adalah bahwa limbah jenis ini membutuhkan pengelolaan khusus yang berbeda dengan pengelolaan limbah biasa,” papar Damanhuri.
Salah satu sistem yang dipakai untuk mengelola limbah yaitu dengan konsep monitoring dan pendatanaan imbah secata terus menerus sejak limbah dihasilkan (cradle) sampai dia dikubur (grave). Mekanisme monitoring dan pendataan ini menggunakan perangkat manifest atau dokumen yang menyertai perjalanan limbah tersebut sampai ke lokasi penimbunan terakhirnya. Artinya mulai dari dilahirkan, disimpan, diangkut, diolah, atau dimanfaatkan sampai limbah tersebut dikubur, limbah tersebut harus diketahui keberadaannya juga jumlahnya.
Oleh karena itu, instrumen izin menjadi penting untuk berfungsinya mekanisme tersebut. Konsep ini pun sudah diterapkan di Indonesia dengan segala keterbatasannya sejak tahun 1994. Instrumen tersebut menurut Damanhuri bertujuan untuk melakukan pengendalian pada setiap simpul pengelolaan limbah. Di Indonesia, setiap simpul pengelolaan limbah B3 wajib dilengkapi dengan izin, yaitu izin penyimpanan, izin pengumpulan, izin pengangkutan, izin pemanfaatan, pengolahan, dan izin penimbunan limbah B3.
“Saya pribadi tidak dapat membayangkan akibatnya andaikata instrumen perizinan seperti tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 ayat (4), dihapuskan dalam sistem pengelolaan limbah B3 di Indonesia. Pengelolaan limbah B3 di Indonesia yang patut kita akui bersama belum sempurna akan mundur ke belakang ke era sebelum tahun 1994,” tutup Damanhuri.
Alexander Sonny Keraf, mantan Menteri Lingkungan Hidup pada era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid juga urun pendapat sebagai ahli dari Pemerintah. Sebagai orang yang terlibat di dalam menyusun undang-undang a quo, Keraf mengatakan bahwa semangat, visi, dan mimpi besar di balik pembuatan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 adalah untuk melindungi lingkungan hidup sebagai sebuah hak asasi manusia. Dengan kata lain, semangat, visi, dan mimpi besar di balik pembuatan undang-undang tersebut adalah memberi jaminan perlindungan bagi seluruh rakyat Indonesia dari bencana dan potensi bencana lingkungan.
“Pemerintah telah bertindak konstitusional melindungi seluruh rakyat Indonesia dan segenap tanah tumpah darah Indonesia dari bencana lingkungan hidup sejalan dengan pengakuan konstitusional akan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai hak asasi setiap orang dan bahkan sejalan dengan tujuan dari terbentuknya pemerintahan Indonesia. Atas dasar itu pula, kami meyakini bahwa sebagai penjaga tertinggi konstitusi Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Para Hakim Konstitusi Yang Mulia sudah sepantas dan selayaknya menolak gugatan atas Undang-Undang Lingkungan Hidup ini,” tandas Keraf. (Yusti Nurul Agustin/mh)