Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar lanjutan sidang uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (UU PKS), Senin (25/8). Siding perkara yang dimohonkan oleh sejumlah LSM ini beragendakan mendengarkan keterangan ahli. Ifdhal Kasim, mantan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang diajukan oleh Pemohon sebagai ahli mengatakan berlakunya UU PKS, telah menimbulkan dualisme hukum pengaturan keadaan darurat di Indonesia.
Menurutnya, mengacu pada ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, pengumuman pernyataan keadaan darurat hanya boleh dikeluarkan atau dinyatakan oleh Presiden. Status keadaan darurat tersebut berlaku untuk periode waktu tertentu, sebagaimana diatur undang-undang.
Dalam waktu yang bersamaan, imbuhnya, berlaku pula ketentuan UU PKS yang mengatur objek atau substansi yang sama. “Namun demikian, terdapat perbedaan dalam sejumlah hal, terutama terkait dengan otoritas yang diberikan wewenang untuk menetapkan keadaan darurat,” ujarnya dalam sidang lanjutan perkara nomor 8/PUU-XII/2014 yang dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva.
Pasal 2 ayat (2) UU Keadaan Bahaya menyatakan kewenangan untuk menetapkan keadaan darurat mutlak berada di tangan presiden. Sementara menurut UU PKS, selain pada presiden kewenangan tersebut juga didelegasikan pada gubernur dan bupati/walikota. “Sedangkan prinsip dan kaidah hukum yang berlaku, semestinya kewenangan itu hanya berada di tangan presiden,” imbuhnya.
Situasi tersebut dinilai tidak menguntungkan bagi warga negara, khususnya dalam konteks perlindungan hak asasi manusia. Pasalnya, penetapan status konflik memungkinkan adanya pengurangan dalam pelaksanaan hak asasi manusia. Oleh karena itu, untuk menjamin perlindungan HAM bagi seluruh warga negara, khususnya dalam situasi keadaan darurat, ketentuan Pasal 16 dan Pasal 26 UU PKS harus dinyatakan inkonstitusional.
Pengerahan TNI
Mantan Kepala Staf Teritorial TNI Agus Widjojo menjelaskan, dari sudut pandang TNI pengerahan TNI saat adanya ancaman konflik sosial dipandang sah prosedurnya apabila dikerahkan oleh pejabat yang punya kewenangan untuk itu. Sedangkan, fungsi pertahanan akan selalu menjadi kewenangan pemerintah pusat. “Seluruh unsur TNI walaupun berada di daerah, pada dasarnya mereka adalah milik pemerintah pusat dan tidak bisa disentuh oleh pemerintah daerah,” tegasnya.
Sebelumnya, sejumlah LSM, yakni Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL),Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), serta Wakil Direktur Human Rights Working Group (HRWG), M. Choirul Anam, S.H., dan Dosen Universitas Pertahanan Indonesia dan Direktur Program Ridep Institute, Anton Aliabbas, M.Si yang diwakili sejumlah kuasa hukum memohonkan uji materi UU Penanganan Konflik Sosial dengan perkara nomor 8/PUU-XII/2014. Pemohon menguji dua pasal dalam UU tersebut, yakni Pasal 16 dan Pasal 26. Kedua pasal tersebut berbunyi:
Pasal 16
Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) ditetapkan oleh bupati/wali kota setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRD kabupaten/kota.
Pasal 26
Dalam Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota, bupati/wali kota dapat melakukan:
a. pembatasan dan penutupan kawasan Konflik untuk sementara waktu;
b. pembatasan orang di luar rumah untuk sementara waktu;
c. penempatan orang di luar kawasan Konflik untuk sementara waktu; dan
d. pelarangan orang untuk memasuki kawasan Konflik atau keluar dari kawasan Konflik untuk sementara waktu.
Alasan pengujian menurut pemohon adalah tidak seharusnya kepala daerah dapat menetapkan status keadaan konflik. Konstitusi, imbuhnya telah mengatur status keadaan darurat hanya dapat ditetapkan oleh Pemerintah, dalam hal ini adalah Presiden. Oleh karena itu, penetapan status keadaan konflik sosial pun seharusnya ditetapkan secara resmi oleh Presiden. Pasalnya, status keadaan konflik sosial memiliki kualifikasi yang sama dengan status keadaan darurat atau bahaya menurut ketentuan UUD 1945. (Lulu Hanifah/mh)