Para penyandang tunanetra yang mengajukan uji materiil aturan mengenai perlengkapan pemungutan suara yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu) memperbaiki permohonan. Sidang kedua perkara dengan Nomor 62/PUU-XII/2014 ini digelar pada Selasa (9/9) di Ruang Sidang MK. Perkara ini dimohonkan oleh Suhendra (Ketua Ikatan Alumni Wyata Guna), Yayat Ruhiyat (Ketua Umum DPP IPMI Jawa Barat), H. Yudi Yuspar (Ketua DPW IPMI, Jawa Barat), Yadi Sophian (Ketua Persatuaan Olah Raga Tuna Netra Indonesia, Jawa Barat), Wahyu Hidayat (Ketua DPC PERTUNI, Kota Bandung), Putre Wiwoho (Ketua DPD PERTUNI, Jawa Barat).
Dalam perbaikan permohonannya, Pemohon yang diwakili oleh Asri Vidya Dewi selaku kuasa hukum menjelaskan telah memperbaiki permohonan sesuai dengan saran majelis hakim pada sidang sebelumya Rabu (28/8) lalu. Pemohon memperbaiki alasan permohonan di antaranya yaitu memilih dalam Pemilu merupakan hak politik penyandang disabilitas yang dilindungi oleh negara. “Dalam beberapa pasal memastikan bahwa prosedur, fasilitas, dan bahan-bahan pemilihan bersifat layak, dapat diakses, serta mudah dipahami dan digunakan bagi para penyandang disabilitas,” ujar Asri.
Namun Pasal 142 ayat (2) UU Pemilu tidak merinci lebih lanjut tentang alat bantu tersebut. Penjelasan tersebut hanya menyangkut alat bantu tuna netra tanpa memberi keterangan lengkap mengenai jenis alat bantunya. “Dengan demikian, Peraturan KPU sebagai instrumen hukum teknis pelaksanaan dari undang-undang juga tidak mencantumkan dengan konkret jenis alat bantu yang dimaksud,” jelasnya.
Pemohon juga mengubah petitum permohonannya dengan meminta agar Pasal 142 ayat 2 UU Pemilu dinyatakan konstitusional bersyarat diartikan untuk penyandang (suara tidak terdengar jelas) tuna netra, lembaga penyelenggaraan pemilihan umum menyediakan perlengkapan yang mendukung penyelenggaraan pemilihan umum, setidaknya berupa template Braille. “Menyatakan Pasal 142 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum atau dalam penjelasannya perlu diberi tambahan frasa mengenai alat bantu tuna netra, setidaknya berupa template Braille,” terangnya.
Majelis Hakim yang dipimpin oleh Aswanto mengesahkan beberapa alat bukti yang diajukan oleh pemohon. Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 142 Ayat (2) UU Pemilu. Pasal 142 Ayat (2) UU Pemilu menyatakan “…Selain perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk menjaga keamanan, kerahasiaan, dan kelancaran pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara, diperlukan dukungan perlengkapan lainnya”.
Para pemohon menilai hak kaum tuna netra terampas saat Pemilu Legislatif 2014. Penyebabnya, KPU tidak menyediakan template braile untuk surat suara calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten atau kota. Menurut Pemohon, ketiadaan perlengkapan ini disebabkan karena aturan tentang perlengkapan dan perangkat Pemilu untuk mendukung penyandang disabilitas, khususnya tuna netra, dalam memenuhi hak pilihnya tidak secara konkret disebutkan dalam Pasal 142 Ayat (2) UU Pemilu. Pemohon berpendapat, menyediakan template braile untuk surat suara calon anggota legislatif merupakan kewajiban negara dalam menjamin hak asasi orang lain dalam menyampaikan aspirasi politiknya pada Pemilu. Pemohon mengungkapkan telah menyurati KPU mengenai alat bantu, namun dalam balasannya, justru KPU menjelaskan adanya tenaga pendamping dalam proses pencoblosan. Akibat adanya ketidakjelasan alat bantu dalam Pasal 142 ayat (2) UU Pemilu menghalangi pemohon untuk memberikan hak konstitusionalnya dalam Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2014 pada 9 April lalu. Atas dasar alasan-alasan tersebut, maka pemohon meminta MK menyatakan ketentuan tersebut konstitusional secara bersyarat jika tidak ditafsirkan alat bantu termasuk template Braille. (Lulu Anjarsari/mh)