Sidang pengujian UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (UU Pengadaan Tanah) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (8/9) siang. Agenda sidang adalah menghadirkan pihak Pemerintah yang diwakili Mualimin Abdi. Sebagaimana diketahui, Pemohon adalah R. Sudarno dkk.
Mualimin Abdi menanggapi dalil Pemohon terkait definsi Pasal 1 angka 10 UU Pengadaan Tanah yang dianggap telah menimbulkan ketidakpastian hukum serta dianggap multitafsir, yaitu khususnya mengenai penafsiran keadilan dan kategori yang layak bagi pihak yang membebaskan tanah, dan pihak yang dibebaskan tanahnya karena di dalam praktiknya telah membebaskan tanah cenderung sewenang-wenang.
Terhadap hal tersebut, Pemerintah memberikan penjelasan bahwa ketentuan Pasal 1 angka 10 UU Pengadaan Tanah sebagaimana termaktub di dalam Bab I Pasal 1 tentang pengertian ganti kerugian, yaitu adalah definisi dalam ketentuan umum, yang menurut hemat Pemerintah tidak dapat diuji materikan karena ketentuan umum tersebut dalam satu peraturan perundang-undangan dimaksudkan agar batasan pengertian, definisi, singkatan, atau akronim yang berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata, istilah, yang memang harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda.
Mualimin menjelaskan, MK juga telah memberikan beberapa kali putusannya yang terkait dengan pengujian yang menyangkut tentang Bab Ketentuan Umum, yang terkait dengan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji, yaitu sebagaimana terdapat di dalam register Putusan Nomor 56/PUU-VI/2008 dan Putusan Register Nomor 10 dan 17 serta 23/PUU-VII/2009.
Bahwa berdasarkan lampiran 2 Nomor 98, UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perudangan, di sana ditentukan bahwa ketentuan umum berisi batas pengertian atau definisi, singkatan atau akronim, yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi, dan/atau hal-hal lain yang bersifat umum, yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya, antara lain ketentuan yang mencerminkan adanya asas, maksud, dan tujuan yang tanpa dirumuskan tersendiri di dalam pasal atau bab itu sendiri.
“Kemudian Yang Mulia, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, terhadap dalil Pemohon yang menganggap Pemerintah sewenang-wenang, hal ini dapat dijelaskan bahwa dalam proses pengadaan tanah terdapat empat tahap, yaitu perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan penyerahan hasil. Pada tahap perencanaan, pihak yang memerlukan tanah akan membuat perencanaan pengadaan tanah yang harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur di dalam Pasal 15 Undang-Undang Pengadaan Tanah,” ucap Mualimin.
“Begitu pula terhadap syarat atau tahapan persiapan, maka sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 Undang-Undang Pengadaan Tanah, instansi yang memerlukan tanah dan pemerintah daerah akan melaksanakan pemberitahuan rencana pembangunan kepada masyarakat, dan dilakukan atau adanya konsultasi publik,” tambah Mualimin.
Kemudian pada tahap pelaksanaan, lanjut Mualimin, pelaksanaan pengadaan tanah akan dilakukan melalui inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, pengunaan, dan pemanfaatan tanah. Proses ini hanya bisa dilakukan dengan melibatkan pihak yang memiliki, menggunakan, dan memanfaatkan tanah yang hasilnya akan diumumkan kepada masyarakat. Selanjutnya pada tahap pelaksanaan, dilakukan musyawarah dengan pihak yang berhak untuk menentukan bentuk dan/atau besarnya kerugian.
“Mekanisme musyawarah untuk menentukan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian ganti kerugian oleh penilai, yang ditentukan oleh waktu paling lama 30 hari sejak hasil penilaian dari penilai diterima oleh ketua pelaksana pengadaan tanah dengan mengikutsertakan instansi yang memerlukan tanah,” tandas Mualimin kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva.
Sidang lanjutan UU Pengadaan Tanah ini akan digelar pada Selasa, 30 September 2014. (Nano Tresna Arfana/mh)