Aturan mengenai batas usia minimal 16 tahun bagi perempuan untuk menikah kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (8/9) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 74/PUU-XII/2014 ini dimohonkan oleh perseorangan yang terdiri dari para perempuan dan Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA).
Dalam pokok permohonannya, para pemohon mengungkapkan batas “usia anak” khususnya untuk anak perempuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) secara a contrario tidak memiliki kesesuaian dengan sejumlah peraturan perundang-undangan nasional yang ada di Indonesia. Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya oleh Anggara menjelaskan Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa 16 tahun dan Pasal 7 ayat (2) UU tersebut telah melahirkan banyaknya praktik perkawinan anak yang mengakibatkan dirampasnya hak-hak anak untuk tumbuh dan berkembang, mendapatkan pendidikan, dan karenanya bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan menyatakan “(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun; (2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”.
Para Pemohon menganggap bahwa batas “usia anak” khususnya anak perempuan dalam UU Perkawinan secara a contrario tidak memiliki kesesuaian dengan sejumlah peraturan perundang-undangan nasional yang ada di Indonesia, serta secara faktual dan aktual telah menimbulkan situasi ketidakpastian hukum mengenai batas usia anak di Indonesia. Ketentuan pasal tersebut, menurut para Pemohon, sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun” telah melahirkan banyaknya praktik perkawinan anak khususnya anak perempuan, yang mengakibatkan dirampasnya hak-hak anak untuk tumbuh dan berkembang, maraknya kasus pemaksaan perkawinan anak, mengancam kesehatan reproduksi serta mengancam hak anak atas pendidikan. “Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa 16 tahun dan Pasal 7 ayat (2) undang-undang a quo telah melahirkan banyaknya praktik perkawinan anak yang mengakibatkan dirampasnya hak-hak anak untuk tumbuh dan berkembang, mendapatkan pendidikan, dan karenanya bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945,” urainya.
Oleh karena itu, lanjut Anggara, menunda usia perkawinan merupakan salah satu cara agar anak dapat mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Berdasarkan uraian tersebut, khususnya implikasi yang ditimbulkan atas ketentuan tersebut, ketentuan tersebut jelas baik langsung maupun tidak langsung telah secara faktual dan juga potensial mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak anak untuk tumbuh dan berkembang, serta memperoleh pendidikan. Sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa 16 tahun dan Pasal 7 ayat (2) telah mengakibatkan terjadinya diskriminasi dalam pemenuhan hak antara anak laki-laki dan anak perempuan, sehingga bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. “Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut, keberadaan ketentuan-ketentuan a quo yang mengatur mengenai batas usia perkawinan anak perempuan telah secara jelas dan meyakinkan melahirkan adanya diskriminatif dalam perlakuan antara anak laki-laki dan perempuan, sehingga berakibat pada tidak terpenuhinya sejumlah hak-hak konstitusional, khususnya bagi anak perempuan,” terangnya.
Pemohon juga menyebutkan dalam permohonannya bahwa ketentuan pasal tersebut yang mengatur mengenai batas usia perkawinan anak perempuan telah secara jelas melahirkan adanya tindakan diskriminatif dalam perlakuan antara anak laki-laki dan perempuan, sehingga berakibat pada tidak terpenuhinya sejumlah hak-hak konstitusional khususnya bagi anak perempuan. Pemohon menganggap bahwa batasan usia perempuan untuk dapat menikah adalah 18 tahun. Dengan alasan tersebut, para Pemohon meminta MK untuk menyatakan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan, sepanjang frasa “umur 16 (enam belas) tahun”, bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak dibaca “umur 18 (delapan belas) tahun”.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar memberikan saran perbaikan kepada para pemohon. Menurut Patrialis, Pemohon kurang mengdefinisikan kedewasaan yang seuai dengan konstitusi sehingga “usia 16 tahun” bertentangan dengan konstitusi. Ia juga menambahkan jika pasal yang diuji dihilangkan, nantinya juga akan melanggar HAM. “Bagaimana kira-kira kalau ada orang yang melaksanakan perkawinan secara budaya di masyarakat desa kita, kita sudah menentukan seperti ini, pada usia 17 tahun, dia tetap melakukan pernikahan, dan 16 tahun di satu sisi kita katakan ini adalah pelanggaran HAM, tapi kalau mereka kawin melakukan pernikahan di bawah umur 18, terus nanti dihukum, apakah ini juga tidak merupakan pelanggaran HAM?” tanyanya.
Sidang berikutnya akan digelar bersamaan dengan siding perkara nomor 30/PUU-XII/2014 yang sudah lebih dahulu masuk pada 22 September 2014 mendatang. (Lulu Anjarsari/mh)