Status presiden pertama Republik Indonesia, Dr. Ir. Soekarno yang masih terkait dengan permasalahan hukum hingga sekarang, membuat Yayasan Maharya Pati berniat untuk memulihkan nama baik pendiri bangsa tersebut dengan menguji Tap MPRS-RI No. XXXIII/MPRS/1967 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana perkara yang teregistrasi dengan Nomor 75/PUU-XII/2014 ini digelar MK pada Jumat (5/9) di Ruang Sidang MK.
Dalam pokok permohonannya, Murnanda Utama selaku Ketua Yayasan Maharya Pati mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya BAB II Pasal 6 Tap MPRS-RI No. XXXIII/MPRS/1967 serta Pasal 6 angka 30 Tap MPR No. I/MPR/2003. Menurut Imam Syahtria selaku kuasa hukum, kedua ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi melanggar hak konstitusional Pemohon. Keberadaan Pasal 6 angka 30 Tap MPR No. I/MPR/2003 dinilai secara tidak langsung melanggengkan ketidakpastian mengenai status hukum Bung Karno. Hal ini terkait dengan BAB II Pasal 6 Tap MPRS-RI No. XXXIII/MPRS/1967 yang menyebut “Menetapkan penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr. Ir. Sukarno, dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, dan menyerahkan pelaksanaannya kepada Pejabat Presiden”. Pemohon menilai Bung Karno masih belum terbebas dari persoalan hukum, bahkan cenderung stempel “tersangka” justru tersemat abadi dan tidak bisa dipulihkan karena ada aturan tersebut.
“Dalam hal ini, beliau dalam Tap MPRS Nomor 33 Tahun 1967 yaitu bab 2 Pasal 6, masih terkait dengan status hukum. Presiden Soekarno dituduh bersekongkol dengan G30S-PKI, dan bab 1 Pasal 3, Presiden Soekarno teridentifikasi melakukan kejahatan atau penghianatan negara sehingga dicabut kekuasaannya. Padahal Bung Karno itu sudah diberikan gelar Bapak Proklamator, Pahlawan Proklamator berdasarkan Kepres Nomor 81 Tahun 1986 oleh Presiden Soeharto,” paparnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Untuk itulah, Pemohon meminta agar Majelis Hakim menyatakan BAB II Pasal 6 Tap MPRS-RI No. XXXIII/MPRS/1967 serta Pasal 6 angka 30 Tap MPR No. I/MPR/2003 bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, Pemohon meminta MK untuk memerintahkan Presiden Ri selambatnya 30 hari mengeluarkan Keppres untuk membebaskan Ir. Soekarno dari persoalan hukum.
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang juga terdiri atas Hakim Konstitusi Aswanto dan Muhammad Alim memberikan saran perbaikan. Alim meminta agar Pemohon mempertimbangkan mengenai kedudukan Tap MPRS yang berbeda dari Undang-Undang. Ia menjelaskan kewenangan MK adalah menguji UU terhadap UUD 1945, sementara Tap MPRS bukan termasuk UU. “Kewenangan Mahkamah Konstitusi itu hanya menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, bukan menguji Tap MPR terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Jadi, TAP MPR tidak termasuk,” terangnya.
Sementara Aswanto meminta agar Pemohon memperhatikan kedudukan hukumnya. “Uji materi atau uji formil terhadap undang-undang itu diajukan bisa perorangan ya. Nah, ini Anda mengajukan sebagai badan hukum privat ya, sebagai badan hukum privat. Saya lihat Anda sudah melampirkan akta pendirian yayasan, tetapi yang belum tampak di dalam permohonan Saudara adalah apa potensi kerugian konstitusional Saudara sebagai badan hukum dengan berlakunya norma itu,” tandasnya.(Lulu Anjarsari/mh)