Seorang advokat, Tomson Situmeang menggugat ketentuan pembatasan kewenangan hakim, jaksa penuntut umum, dan penyidik untuk pengambilan fotokopi minuta akta dan pemanggilan notaris. Hal itu terungkap dalam sidang perdana perkara No. 72/PUU-XII/2014 yang digelar Mahkamah Konstitusi pada Kamis (4/9). Kuasa Hukum Pemohon, Charles Hutagalung hadir pada sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Sebelumnya, sesuai permohonan tertulis yang dilayangkan ke MK, Pemohon menggugat ketentuan dalam Pasal 66 ayat (1), (2), dan (4) UU Jabatan Notaris. Pasal-pasal tersebut mengatur kewenangan Majelis Kehormatan Notaris (MKN) untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim. Berikut isi pasal-pasal yang mengatur kewenangan MKN dimaksud.
Pasal 66 UU Jabatan Notaris
(1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris berwenang: a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
(2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.
(4) Dalam hal majelis kehormatan Notaris tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), majelis kehormatan Notaris dianggap menerima permintaan persetujuan.
Charles pun kemudian menjelaskan bahwa ketentuan tersebut menghalangi hak konstitusional Pemohon yang juga merupakan penegak hukum. Diberlakukannya Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris menurut Pemohon telah memberi pengaruh terhadap penegakan hukum, baik oleh advokat, polisi, jaksa maupun kekuasaan kehakiman yang akan berujung pada hilangnya independensi penegak hukum.
Selain itu, Charles juga mengatakan ketentuan Pasal 66 ayat (1) UU tersebut memberi kesan kewenangan hakim, jaksa penuntut umum, dan penyidik berada di bawah kewenangan MKN. Sebab, hanya dengan persetujuan MKN-lah para penegak hukum tersebut dapat melakukan penyidikan dalam hal mengambil fotokopi Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris. Kewenangan para penegak hukum pun seakan dibatasi karena untuk memanggil notaris hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris juga perlu persetujuan MKN terlebih dulu.
Dihidupkan Kembali
Menurut Pemohon, sebenarnya ketentuan dalam Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris telah dibatalkan oleh MK lewat putusan Nomor 49/PUU-X/2012 tertanggal 28 Mei 2013. Putusan MK tersebut menurut Charles pada pokoknya menyatakan ketentuan yang mengharuskan persetujuan MKN bertentangan dengan prinsip independensi dalam proses peradilan dan bertentangan dengan kewajiban seorang notaris sebagai warga negara yang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum.
Dengan dihidupkannya kembali ketentuan tersebut ke dalam Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris, Pemohon merasa berpotensi dirugikan hak-hak konstitusionalnya sebagai salah satu penegak hukum. Selain itu, kerugian serupa juga dapat dirasakan oleh masyarakat pencari keadilan. Pada akhirnya, lanjut Charles, berlakunya ketentuan tersebut dapat berimplikasi kepada hilangnya integritas badan hukum dan merosotnya pelayanan hukum. Tidak heran kemudian bila kepercayaan publik terhadap penegakkan hukum menghilang.
“Pada akhirnya juga akan berimplikasi pada hilangnya integritas badan hukum yang limpahkan advokat. Sehingga kualitas pelayanan hukum juga akan merosot dan pada akhirnya akan menghilangkan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum,” tandas Charles. (Yusti Nurul Agustin/mh)