Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa ( DPP PKB) menghadirkan dua orang ahli, yaitu ahli sosial politik dan ahli hukum tata negara pada sidang yang digelar Rabu (4/9) di Ruang Sidang Pleno MK. Kris Nugroho selaku Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik dan Sukardi selaku Dosen Hukum Tata Negara dari Universitas Airlangga sepakat menyatakan sistem pemilu proporsional terbuka lemah dan tidak efektif digunakan dalam penyelenggaraan Pemilu Legislatif. Sistem ini pun membuat calon legislatif terpilih jauh dari konstituennya.
Sukardi yang mendapat kesempatan lebih dulu menyampaikan keahliannya mengatakan Indonesia menerapkan sistem proporsional dalam penyelenggaraan Pemilu dengan melandaskan pada sila kelima dasar negara Pancasila. Sesuai dengan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sistem pemilu proporsional mengedepankan keadilan. Dengan begitu, semua kontestan Pemilu akan mendapatkan hak sesuai dengan suara yang diperolehnya dalam Pemilu.
Namun di balik kelebihannya, sistem Pemilu proposional juga memiliki kelemahan. Salah satu kelemahan menurut Sukardi, yaitu kurang dekatnya wakil rakyat terpilih dengan konstituennya. Untuk menutupi kelemahan itu, UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pileg akhirnya mengadopsi sistem distrik dengan menerapkan sistem proporsional terbuka. Ketentuan tersebut pun dituangkan dalam Pasal 5 UU 8 Tahun 2012.
Meskipun begitu, lanjut Sukardi, demokrasi yang berdasarkan kebebasan tetap memiliki potensi konflik. Hal itu terlihat usai pelaksanaan Pileg berdasarkan sistem proporsional terbuka timbul persaingan kurang sehat di antara para kader di dalam maupun di luar partai politik. Persaingan tersebut juga dilakukan dengan memanfaatkan segala cara dan peluang untuk memengaruhi pemilih.
Konflik yang timbul menurut Sukardi bertentangan dengan Demokrasi Pancasila yang menolak kebebasan yang tidak bertanggung jawab. Alih-alih terjadinya kedekatan wakil rakyat dengan konstituennya, justru yang terjadi adalah banyaknya anggota legislatif yang diisi oleh orang-orang yang baru bergabung dengan partai politik sesaat sebelum Pemilu. Dengan kata lain, anggota legislatif terpilih sangat mungkin belum pernah mengabdi kepada partai politik pengusung mereka.
“Hal demikian, apabila dibiarkan terus-menerus, akan menggusur pengurus partai politik dari parlemen, sehingga ketentuan dalam UUD 1945 yang menyatakan peserta Pemilu adalah partai politik tidak dapat diterapkan dengan pas. Dengan kondisi demikian, maka harapan untuk mendekatkan anggota parlemen dengan rakyat akan sulit diterapkan karena masing-masing anggota parlemen terpilih akan lebih banyak memperjuangkan kepentingan diri sendiri, bukan kepentingan rakyat,” jelas Sukardi.
Sukardi pun menyarankan agar kontestan Pemilu dikembalikan menjadi partai politik yang berjumlah terbatas saja, bukan kader partai politik. Ia pun yakin hal itu sesuai dengan amanat UUD 1945. Dengan pelaksanaan pileg menggunakan sistem proposional terbuka yang melibatkan banyak caleg, Sukardi juga menganggap hal itu tidak mencermikan efisiensi dan cendurung memboroskan anggaran.
“Pemilu dengan proporsional terbuka tidaklah mencerminkan adanya efisiensi tersebut. Pemborosan anggaran tidak hanya terjadi di dalam penyelenggaraan negara, melainkan juga di dalam partai maupun perorangan peserta pemilu,” tegas Sukardi.
Sementara itu, Kris Nugroho yang turut menyampaikan keahliannya mengatakan secara institusional sistem multipartai merupakan koreksi atas kemandegan demokrasi kepartaian di era orde baru. Pelaksanaan pemilu juga menjadi instrumen pendidikan politik yang baik bagi warga negara untuk mengenal gagasan-gagasan politik yang diusung peserta pemilu, yaitu partai maupun calon yang diajukan oleh partai. Diharapkan, melalui partai maupun kadernya, rakyat akan diwakili kepentingannya di legislatif.
Lebih lanjut, Kris mengatakan Pasal 7 UU No. 8 tentang Pileg telah menyatakan peserta pemilu adalah partai politik. Pasal tersebut mengandung makna partai politik merupakan pelaku aktif dalam Pileg. Demikian juga Pasal 14 UU yang sama menyatakan parpol dapat menjadi peserta pemilu dengan mengajukan pendaftaran untuk menjadi calon peserta pemilu kepada KPU.
Terkait dengan sistem proporsional terbuka dalam penyelenggaraan Pileg, Kris mengatakan ketentuan tersebut berimplikasi secara politik dengan mengakibatkan caleg berpacu untuk mendapatkan suara terbanyak. Hal tersebut menyebabkan jaringan elektoral partai menjadi tidak penting karena motivasi caleg untuk ikut pemilu adalah untuk menang, bahkan menang tanpa memanfaatkan mekanisme elektoral partai.
Dari perspektif akademik dan empiris, Kris menyatakan sistem proporsional memiliki beberapa dampak negatatif. Antara lain, makin pragmatiknya caleg karena ia mampu membentuk jaringan elektoral pribadi yang memungkinkan mereka menang atau bertahan dalam kompetisi. Dampak lainnya, caleg makin jauh dari institusi partai dan terjadinya degradasi sistem partai ketika kampanye karena caleg bekerja sebagai individu yang lepas dari institusi partai.
“Penerapan sistem proporsional terbuka, seyogianya juga harus dikaitkan kepentingan yang lebih luas, yaitu apakah sistem ini paralel, menghasilkan wakil-wakil rakyat yang merakyat dan berintegritas,” ujar Kris khawatir. (Yusti Nurul Agustin/mh)