Sidang uji materiil Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (4/9) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 30/PUU-XII ini dimohonkan oleh Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP).
Dalam sidang mendengarkan ahli dan saksi tersebut, ada beberapa yayasan yang ikut serta sebagai Pihak Terkait dalam permohonan tersebut. Yayasan Kayana Mitra, salah satu Pihak Terkait, menjelaskan pihaknya ikut serta terkait dalam permohonan tersebut dikarenakan banyak anak perempuan yang menjadi korban pernikahan di bawah umur yang ditemukan oleh yayasannya. Diwakili oleh Rena Hendiyani, ia memaparkan pernikahan di bawah umur seperti yang tercantum dalam UU Perkawinan, umumnya justru membatasi aktivitas anak perempuan. “Hal ini karena di dalam hukum perkawinan Indonesia yang patriarkis, anak perempuan yang menikah di bawah umur tetap harus menjadi ibu rumah tangga dan banyak risiko lainnya. Seperti risiko keguguran bahkan kematian yang diakibatkan belum berkembang baiknya organ reproduksi anak di bawah umur,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Arief Hidayat.
Selain itu, sambung Rena, perempuan di bawah umur rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hal ini dikarenakan peremuan di bawah umur ketika menikah berada di posisi terendah. “Untuk itu, masalah ini juga pada akhirnya menjadi masalah dunia karena PBB telah memberikan peringatan kepada Pemerintah,” ujarnya.
Pihak Terkait lainnya, Perhimpunan Rahmah yang diwakili oleh Sita Dewi mengungkapkan di pengadilan, alasan utama dispensasi pernikahan di bawah umur karena si perempuan hamil di luar nikah. Untuk itulah, dispensasi ini seharusnya tidak dilakukan. “Hal ini justru menjadi alasan yang salah,” terangnya.
Dalam kesempatan itu, hadir pula saksi Pemohon, Masri yang menikah di usia 15 tahun. Dalam keterangannya, ia menjelaskan dipaksa menikah oleh orangtuanya untuk menikahi pria yang tidak ia cintai. “Saya menikah ketika duduk bangku SMP, tapi memang di desa saya hal itu sudah menjadi tradisi,” terangnya.
Masri mengungkapkan statusnya yang tidak memiliki kepastian hukum karena pernikahannya belum terdaftar di KUA. Ia pun menerangkan tetap melanjutkan sekolah ke jenjang SMK.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon menyatakan usia minimal 16 tahun yang diatur dalam UU Perkawinan dinilai terlalu berisiko untuk masa pertumbuhan seorang perempuan, sehingga terjadi perebutan gizi antara si ibu dan janin yang akan dikandungnya. Selain itu, banyaknya perkawinan di usia tersebut berbanding lurus dengan banyaknya angka perceraian. Lebih lanjut Pemohon menyatakan bahwa batasan usia 16 tahun dalam UU tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum karena dalam beberapa UU yang lain, seperti UU Perlindungan Anak dinyatakan bahwa batasan usia dewasa seseorang adalah 18 tahun. Untuk itu YKP selaku Pemohon meminta kepada MK agar ketentuan tersebut dinyatakan bertentangan dengan konstitusi, dan menyatakan bahwa pasal tersebut konstitusional jika batasan usia perempuan untuk dapat menikah adalah 18 tahun. (Lulu Anjarsari/mh)