Perkawinan beda agama telah menjadi salah satu isu sosial yang banyak diperdebatkan, mulai dari rohaniawan hingga masyarakat pada umumnya. Praktik yang kini belum diakui di Indonesia ini menjadi objek utama sidang yang digelar pada Rabu (4/9), di Ruang Sidang Pleno MK.
Adalah dua alumnus dan seorang mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menjadi pemohon dari pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD 1945. Damian Agata Yuvens, Anbar Jayadi, dan Lutfi Saputra berargumen bahwa Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan yang secara implisit melarang pernikahan beda agama, seharusnya dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Sebagaimana diketahui, UU Perkawinan menentukan bahwa sahnya sebuah perkawinan apabila dilakukan berdasarkan hukum masing-masing agamanya. Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan selengkapnya menyatakan bahwa: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Damian Yuvens menyatakan bahwa pasal tersebut menghalangi perkawinan antar warga negara dengan hambatan yang secara internasional sudah dilarang, yaitu agama dan ras. Pasal tersebut dianggap dapat menimbulkan pemaksaan untuk menaati peraturan suatu agama tertentu dalam persoalan perkawinan, padahal kebebasan beragama dan perkawinan adalah salah satu hak asasi yang paling esensial.
Pemohon lain, Anbar Jayadi, mengatakan bahwa berlakunya pasal tersebut juga dinilai telah menimbulkan adaptasi-adaptasi negatif sebagai cara untuk menghindari aturan tersebut. Sebagai bukti, telah banyak terjadi penyelundupan hukum dengan mengenyampingkan hukum nasional dan hukum agama. “Mengenyampingkan, hukum nasional dilakukan dengan melangsungkan perkawinan di luar negeri dan dengan melakukan perkawinan secara adat” tukas Anbar di hadapan Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
“Sedangkan mengenyampingkan peraturan agama, telah dilakukan dengan cara menaati dengan paksa aturan agama dari salah satu pasangan atau bahkan berpindah agama sesaat sebelum melangsungkan perkawinan,” tambahnya.
Ia juga menyatakan bahwa berlakunya pasal tersebut bukannya menyelesaikan masalah perkawinan beda agama, tetapi malah menimbulkan masalah baru. Alih-alih memberi kejelasan mengenai diperbolehkan atau tidaknya perkawinan beda agama, pasal tersebut malah menyerahkan kembali persolan pada masing-masing individu. Ketentuan demikian oleh Pemohon dianggap tidak memenuhi syarat norma hukum bagi berlakunya suatu undang-undang.
Perkawinan beda agama sebetulnya telah menimbulkan perdebatan di masyarakat. Meskipun banyak dinyatakan tidak diperbolehkan secara agama, beberapa pemuka agama, termasuk Islam, justru menyatakan bahwa perkawinan beda agama diperbolehkan dalam batasan-batasan tertentu.
Pemohon dalam kesempatan tersebut juga menegaskan bahwa kini sudah saaatnya negara melepaskan beban dari pundaknya untuk menanamkan nilai-nilai luhur agama dan kepercayaan kepada tiap warga negaranya. Tanggung jawab ini harus dipikul oleh warga negara sendiri. Biarkan masyarakat yang memutuskan berdasarkan hati nurani dan keyakinannya sendiri untuk mengikuti atau tidak mengikuti ajaran dari agama dan kepercayaan yang dianutnya.
Kajian Filosofis
Menanggapi permohonan ini, hakim konstitusi menurut undang-undang wajib memberikan nasihat atas permohonan. Wakil Ketua MK Arief Hidayat dalam kesempatan ini meminta agar pemohon melengkapi dasar permohonan Antara lain dengan mengemukakan kajian filosofis. Dikatakan oleh Arief, kehidupan bernegara di Indonesia harus dilandasi pada Konstitusi yang berlaku, sebagaimana telah dikonsepkan oleh para pendiri bangsa. Ia mengingatkan bahwa Konstitusi Indonesia secara filososfis bukan berdasarkan hukum Islam ataupun menganut sekularisme, namun berdasarkan Pancasila yang didalamnya termuat Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
“Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa harus hadir dalam kehidupan bernegara. Prinsip hukum di Indonesia harus dibangun atas dasar-dasar Universal, yang didasarkan atas Pancasila,” jelas Hakim Arief Hidayat
Sementara itu, Hakim Muhammad Alim dalam kesempatan tersebut menyatakan bahwa UUD 1945 adalah peraturan hukum tertinggi di Indonesia dan tidak bisa dianulir oleh norma internasional apapun karena UUD 1945 adalah supreme constitution. “Jika ada pertentangan norma, UUD 1945 yang harus dipertahankan, bukan ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) atau aturan internasional lain,” tandasnya (Winandriyo Kun Anggianto/mh)