Tersangka kasus percobaan pemerkosaan dan kekerasan Sanusi Wiradinata merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan adanya norma Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Diwakili kuasa hukumnya Yudi Anton Rikmadani, Pemohon menilai ketentuan Pasal 77 huruf a telah membatasinya mengajukan praperadilan berkaitan dengan penetapan tersangkanya yang tidak sah.
“Pemohon berkeinginan tentang adanya penetapan tersangka tidak sah, berita acara pemeriksa tersangka tidak sah, penyidikan perkara pidana tidak sah, pengurangan hak kebebasan tersangka tidak sah, dan penuntutan tersangka tidak sah,” ujarnya di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Rabu (3/9).
Adapun Pasal 77 huruf a KUHAP menyatakan:
“Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.”
Sebelumnya, permohonan praperadilan diajukan Sanusi telah diterima sebagian oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Permohonan yang dikabulkan adalah menyatakan tidak sah penangkapan terhadap dirinya yang dilakukan oleh Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya. Namun, PN Jaksel menolak permohonan pembatalan surat perintah penahanan dan BAP perkara.
Oleh karena itu, Pemohon yang merasa dikriminalisasi oleh Polda Metro Jaya meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan Konstitusi. “Menyatakan Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai tidak termasuk sah atau tidaknya penetapan tersangka, Berita Acara pemeriksaan tersangka, penyidikan perkara pidana, pengurangan hak kebebasan tersangka atau penuntutan tersangka,” ujarnya.
Sanusi alias Lim Sam Che merupakan tersangka kasus percobaan pemerkosaan dan kekerasan pada 2012 lalu. Namun, sejak dilaporkan, Sanusi tidak pernah memenuhi panggilan pihak berwajib dan akhirnya menjadi buronan. Setahun kemudian, 1 April 2013, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), melindungi Sanusi sebagai whistleblower kasus dugaan korupsi.
Sanusi dianggap mengetahui aliran dana suap yang melibatkan aparat penegak hukum. Perlindungan tersebut diberikan karena dirinya merasa dikriminalisasi oleh seorang pengacara bernama Lucas dengan cara kongkalikong bersama oknum Polda Metro Jaya. Dengan adanya kejadian tersebut, Sanusi mengajukan praperadilan dalam perkara pidana ke Pengadilan Negeri.
Pernah Diuji
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Aswanto, dengan Arief Hidayat dan Anwar Usman sebagai anggota meminta Pemohon untuk melakukan perbaikan konstruktif terhadap permohonannya. Pasalnya, Pemohon sudah pernah mengajukan kasus yang sama dan telah dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK melalui Putusan Nomor 102/PUU-XI/2013. “Kalau itu diajukan kembali tanpa ada perbaikan-perbaikan yang konstruktif, bisa dinyatakan nebis in idem nanti,” ujar Arief.
Meskipun sudah pernah diputus oleh MK terhadap pasal itu dan dinyatakan tidak diterima, Arief mengatakan pasal yang sama bisa diajukan kembali dengan syarat konstitusionalitas alasan permohonan atau batu uji yang berbeda.
Sedangkan Aswanto menyarankan Pemohon untuk mengelaborasi kerugian konstitusional yang dialami karena adanya Pasal 77 huruf a KUHAP. Tidak hanya sekadar menyampaikan bahwa kerugiannya itu adalah hilangnya kesempatan untuk memperoleh kepastian hukum yang adil, tetapi harus lebih jelas lagi,” ujarnya. (Lulu Hanifah/mh)