Sidang uji materiil mengenai aturan pemilihan umum kepala daerah seperti yang tercantum dalam UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 12 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum ditunda. Hal ini disebabkan karena adanya kegiatan rapat yang harus dihadiri Pemerintah maupun DPR di DPR, Rabu (3/9) di Ruang Sidang Pleno MK.
Pemerintah yang diwakili oleh Budijono, menjelaskan tidak dapat memberikan keterangan Pemerintah karena Ditjen Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi mendampingi Amir Syamsudin membahas mengenai RUU. “Sedianya hari ini yang membacakan Pak Mualimin karena tadi pagi mendadak mendampingi Bapak Menteri di DPR, membahas RUU. Mohon izin perkenaan, untuk penundaan sidang berikutnya, Yang Mulia,” ujar Budijono di hadapan sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Arief Hidayat.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan aturan pemilihan umum kepala daerah yang tidak ditegaskan melalui pemilihan secara langsung dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Beberapa pemohon tercatat sebagai pemohon uji materiil Pasal 56 ayat (1) UU Pemda dan Pasal 1 angka 4 UU Penyelenggara Pemilu tersebut, yakni Forum Kajian Hukum dan Konstitusi serta beberapa pemohon perseorangan.
Pada sidang pemeriksaan permohonan, Pemohon yang diwakili oleh Ryan Muhammad selaku kuasa hukum, mendalilkan dua pasal tersebut telah melanggar hak konstitusional para pemohon. Pasal 56 ayat (1) UU Pemda menyatakan “Kepala daerah atau wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Sementara, Pasal 1 angka 4 UU Penyelenggara Pemilu menyatakan “Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah Pemilihan untuk memilih gubernur, bupati dan walikota secara demokratis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Ryan menjelaskan Pasal 56 ayat (1) UU Pemda dan Pasal 1 angka 4 UU Penyelenggara Pemilu bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 karena tidak ditegaskan adanya frasa “dipilih secara langsung” dalam mekanisme pemilihan kepala daerah, melainkan hanya ditegaskan secara limitatif dengan frasa “dipilih secara demokratis”, sedangkan makna “dipilih secara demokratis” yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 adalah dipilih melalui mekanisme musyawarah/perwakilan bukan dipilih secara langsung seperti pemilihan presiden/wakil presiden dalam Pasal 6A ayat (1) UUD 1945. “Kedua pasal tersebut tidak mengindahkan dan memenuhi kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang berlaku dalam sebuah norma hukum,” ujarnya pada sidang yang digelar pada Kamis (17/4) di Ruang Sidang Pleno MK.
Selain itu, lanjut Ryan, norma tersebut juga bertentangan dengan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 karena Pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil tersebut untuk Pemilu anggota legislatif, sedangkan Pemilu Kepala Daerah tidak termasuk didalamnya. Pasal 1 angka 4 UU Penyelenggara Pemilu bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 karena yang dimaksud dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 adalah Pemilihan Umum yang dilakukan setiap lima tahun sekali secara serentak (nasional). “Sementara yang diatur dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 adalah Pemilihan Kepala Daerah yang tidak dilakukan secara serentak sehingga hal tersebut menghalangi terwujudnya pemilihan yang demokratis berdasarkan kearifan lokal sesuai dengan semangat otonomi daerah,” urainya.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 56 ayat (1) UU Pemda dan Pasal 1 angka 4 UU Penyelenggara Pemilu, bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. (Lulu Anjarsari/mh)