Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) mengajukan pengujian tiga undang-undang sekaligus ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tiga undang-undang dimaksud, yaitu UU tentang Kehutanan, UU Pemda, dan UU Penataan Ruang. Sidang perdana perkara No. 70/PUU-XII/2014 dan 71/PUU-XII/2014 tersebut digelar Rabu (3/9) di Ruang Sidang Pleno MK.
Yusril Ihza Mahendra selaku kuasa hukum APKASI untuk kedua perkara tersebut hadir pada sidang perdana yang dipimpin Muhammad Alim. Yusril menyampaikan Pemohon pada pokoknya menggugat ketentuan kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang tata ruang dan ketentuan kewenangan pengelolaan hutan oleh pemerintah pusat.
Pada permohonan perkara No. 70, APKASI menganggap pemerintah kabupaten yang lebih tepat mengelola hutan, bukan pemerintah pusat seperti yang dicantumkan dalam UU Kehutanan dan UU Pemda. Sebab, di tengah keragaman Indonesia yang begitu besar, Pemerintah dianggap tidak mungkin menyelenggarakan kekuasaan negaranya secara sentralistis.
Terlebih, sebagian besar hutan di Indonesia berada di wilayah kabupaten, terutama hutan yang berada di daerah luar Pulau Jawa. Para bupati dianggap oleh Pemohon lebih mengetahui keadaan hutan di daerah yang dipimpinnya dibanding presiden dan menteri kehutanan yang mewakili pemerintah pusat.
Selain itu, UU Kehutanan juga dianggap berbenturan dengan UU Pemda. Sebab, dalam UU Pemda dan UUD 1945 justru dinyatakan Pemda berwenang menjalankan kewenangannya melakukan pemerintahan di daerah. UU Kehutanan pun dianggap tidak mewakili isi UUD 1945 pascaamandemen yang penuh semangat perubahan. Sebab, UU Kehutanan disahkan pada masa peralihan dari pemerintahan Orde Baru ke pemerintahan Reformasi di bawah Presiden BJ Habiebie.
Tidak heran bila ketentuan tentang hutan sebagai sumber daya alam yang dikuasai oleh negara saat itu dipahami dikuasai oleh pemerintah pusat dan menteri kehutanan. “Pada saat itu sama sekali tidak membicarakan tentang kewenangan pemerintahan daerah. Walaupun, di masa belakangan setelah berlaku Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (UU Pemda) muncul beberapa peraturan-peraturan pemerintah yang menyebutkan adanya kewenangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dalam hal menjalankan pemerintahan di bidang kehutanan itu berbagi kewenangan antara pusat dan daerah,” jelas Yusril.
Sementara pada Perkara 71/PUU-XII/2014, APKASI juga menyampaikan bahwa Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri dari banyak suku dan pulau. Sehingga Pemohon juga menganggap tidak mungkin diselenggarakan pemerintahan secara sentralistis. Oleh sebab itu, kewenangan yang diberikan kepada daerah-daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di daerahnya haruslah diberikan secara adil, proporsional dan mengandung kepastian hukum.
Terlebih Konstitusi sudah mengamanatkan Pemerintahan dijalankan berdasarkan otonomi daerah sesuai Pasal 33 ayat (3), ayat (4), serta Pasal 18 ayat (2) dan (5). Pemohon pun menganggap daerah harus diberkan keleluasaan yang besar untuk melakukan penataan ruang di daerah masing-masing.
Namun, pada kenyataannya pengaturan mengenai tata ruang di daerah serta proses pengesahan peraturan daerah berbelit-belit sehingga memakan waktu yang lama dan tidak kunjung selesai karena tumpang tindih kewenangan antar pemerintah pusat dan daerah.
Yusril pun menjelaskan bahwa UU Tata Ruang mengamantakan dalam waktu tiga tahun setelah selesainya UU tersebut, seluruh peraturan pusat maupun daerah tentang tata ruang harus sudah selesai. Namun, pada kenyataannya sampai saat ini baru sekitar 30 persen peraturan tata ruang yang selesai. Yusril pun mengungkapkan penyelesaian peraturan-peraturan dimaksud belum atas persetejuan dari menteri.
Padahal, di dalam UU Pemda, penyusunan APBD harus didasarkan kepada tata ruang. Yusril pun menyampaikan fakta bahwa dengan persentase penyelesaian peraturan tata ruang yang masih 30 persen, banyak APBD yang disusun tanpa dasar yang kuat. Akibatnya, pembangunan di daerah-daerah menjadi kacau. “Terminal bisa dibangun di suatu tempat, pasar dibangun di sana, itu acuan tata ruangnya sama sekali tidak ada. Jadi kami betul-betul menganggap persoalan ini sangat penting dan ini bukan persoalan penerapan hukum tapi karena memang sejak awal perumusan normanya itu memang tidak jelas,” ungkap Yusril. (Yusti Nurul Agustin/mh)