Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (UU Lambang Negara) kembali diujikan secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (3/9) di Ruang Sidang Pleno. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 66/PUU-XII/2014 kembali dimohonkan oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi yang diwakili oleh Victor Santoso Tandiasa.
Victor yang hadir tanpa diwakili oleh kuasa hukumnya pernah mengajukan uji materiil UU tersebut dengan pasal yang sama dengan nomor registrasi perkara Nomor 4/PUU-X/2012 pada tahun 21012 lalu. Namun Victor menjelaskan bahwa permohonan kali ini berbeda dengan permohonan sebelumnya. Jika sebelumnya Pemohon mendalilkan untuk menyatakan seluruh Pasal 57 huruf c dan d UU Lambang Negara, maka kali ini pemohon hanya mendalilkan keberatan dengan adanya frasa “menyerupai lambang Negara” dalam Pasal 57 huruf c UU Lambang Negara. Pasal 57 huruf c menyebutkan bahwa “c. membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara”.
“Lambang negara yang merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa, tetapi dengan diberlakukannya Pasal 57 huruf c UU Lambang Negara dan terhadap frasa yang sama Pasal 69 huruf b UU 24/2009 justru berpotensi menimbulkan konflik dalam masyarakat dan merugikan setiap warga negara termasuk pengrajin/pembuat lambang negara maupun menyerupai lambang negara karena berpotensi dikriminalisasikan,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Aswanto.
Menurut Pemohon, cara mempergunakan lambang kenegaraan bukan untuk penghinaan terhadap lambang negara, melainkan sebagai bentuk ekspresi nasionalisme masyarakat terhadap lambang negara. Selain itu, Pemohon mendalilkan frasa mengenai “menyerupai lambang negara” Pasal 57 huruf c UU 24/2009 dan Pasal 69 huruf b UU 24/2009 tidak tepat karena larangan tersebut diikuti dengan ancaman pidana yang seharusnya ketentuan mengenai perbuatan yang diancam pidana harus memenuhi rumusan yang bersifat jelas dan tegas (lex certa), tertulis (lex scripta), dan ketat (lex stricta).
“Karena timbulnya larangan serta sanksi dalam Pasal 57 huruf c UU 24/2009 dan 69 huruf b UU 24/2009 tidak ada penjelasan frasa ‘menyerupai lambang negara’ sehingga dapat memberikan dampak terjadi kriminalisasi seperti yang termaktub di dalam Pasal 69 huruf b UU 24/2009 tersebut bagi setiap orang yang membuat lambang untuk perseorangan serta menyerupai lambang negara dapat dipidana,” paparnya.
Untuk itulah, Pemohon meminta agar Pasal 57 huruf c dan Pasal 69 huruf b dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. “Menyatakan bahwa terhadap frasa “membuat lambang untuk perseorangan” serta frasa “menyerupai lambang negara” pada Pasal 57 huruf c dan Pasal 69 huruf b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan bertentangan dengan UUD 1945 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” ujarnya.
Menanggapi permohonan pemohon, Majelis Hakim yang dihadiri oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dan Muhammad Alim memberikan saran perbaikan kepada Pemohon. Patrialis menjelaskan pemohon harus menguraikan kedudukan hukumnya terlebih dahulu. “Selain itu, format permohonan yang tepat disesuaikan dengan PMK 06/2005. Alasan permohonan coba dikoherensikan. Bagaimana putusannya dulu kemudian apa bedanya dari yang sekarang,” tandasnya. (Lulu Anjarsari/mh)