Aturan mengenai rekapitulasi suara berjenjang dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden (Pilpres) yang diatur dalam Pasal 131 sampai Pasal 156 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) dinilai merugikan pemilih dan peserta Pemilu.
Sejumlah warga negara selaku Pemohon menguji materi UU Pilpres yang mengatur secara spesifik ketentuan sistem dalam rekapitulasi suara. Pada Pilpres, rekapitulasi suara melalui empat tingkatan, yakni kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga nasional. Sedangkan proses rekapitulasi Pemilu legislatif melalui lima tingkatan, yakni kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga nasional. “Keseluruhan sistem tersebut memproduksi persoalan atau menjadi sebab problematika yang merugikan pemilih dan para kontestan karena adanya pencurian dan penggelembungan suara yang terjadi selama proses rekap di setiap jenjang rekap hingga empat sampai lima tingkatan,” ujar Kuasa Hukum Pemohon Arvid di ruang sidang MK, Jakarta, Selasa (2/9).
Terjadinya penggelembungan suara, sambungnya, melibatkan politik uang antara peserta dengan penyelenggara Pemilu di semua tingkatan. Terlebih, tidak dipakainya dokumen otentik hasil dari perhitungan pertama di TPS sebagai dasar rekap berjenjang, digantikan dengan dokumen salinan berupa sertifikat hasil perhitungan suara yang menyebabkan ketidakpastian hukum dalam hal pembuktian ketika muncul sengketa Pemilu.
Penyalinan dokumen ke dalam sertifikat baru pada setiap tingkatan, dinilai Pemohon ikut memproduksi rekayasa secara berjenjang hingga empat sampai lima kali yang terjadi dengan berbagai modus dari salah catat oleh panitia hingga kesengajaan. Selain itu, proses berjenjang empat sampai lima tingkatan melibatkan logistik dan kepanitiaan yang besar, sehingga banyak menghabiskan tenaga waktu dan biaya. “Proses rekap berjenjang yang memakan waktu hingga sebulan juga membawa kerawanan dalam masyarakat, terutama berpengaruh negatif pada lingkungan bisnis,” imbuhnya.
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK untuk menyatakan sistem rekapitulasi suara berjenjang pada Pasal 141 hingga 156 UU Pilpres bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. MK juga diminta menyatakan sistem rekapitulasi suara berjenjang pada Pasal 141 hingga 156 UU Pilpres tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menyarankan agar Pemohon untuk memperbaiki struktur dan substansi permohonan. Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi meminta Pemohon menguraikan secara sistematis dasar hukum kewenangan MK. Selain itu, Pemohon diminta memaparkan argumentasi pada pokok permohonannya. “Di sini anda hanya secara umum menyebutnya. Soal dikabulkannya permohonan itu kan tergantung bagaimana pertama Anda berargumentasi dan membuktikannya,” ujarnya.
Senada, Patrialis menyarankan agar Pemohon memaparkan kerugian-kerugian konstitusional yang dialami dan menguraikan legal standing Pemohon. “Jadi, sekali lagi coba Saudara secara mendasar memaparkan kerugian yang bukan persoalan-persoalan implementasi,” jelasnya. (Lulu Hanifah/mh)