Mahkamah Konstitusi menggelar sidang lanjutan pengujian Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UU Pasar Modal) serta Pasal 6 ayat (1) huruf d, Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), Pasal 42 ayat (5), Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS).
Dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Hamdan Zoelva, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada Zainal Arifin Mochtar yang dihadirkan sebagai ahli Pemohon memaparkan tiga hal yang perlu dikaji dalam UU Pasar Modal dan UU LPS, yakni konsep pengambilan keputusan penyertaan modal sementara dan posisi LPS sebagai lembaga hukum independen, konsep hukum dan penafsiran atas pasal-pasal yang diujikan soal penjualan berbatas waktu tanpa perlu memperhatikan pengembalian nilai optimal berdasarkan penyertaan modal sementara, dan bagaimana konstelasi pasal-pasal tersebut akan mengganggu pelaksanaan tugas LPS.
Termasuk dalam anggota Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) bersama menteri keuangan, gubernur Bank Indonesia, ketua dewan komisioner Otoritas Jasa Keuangan, sifat keanggotaan LPS menjadi perseorangan secara kelembagaan. Begitu keputusan FKSSK diambil, LPS tidaklah dapat menolak atau memilih untuk tidak melakukan penyelamatan, meskipun telah tahu bahwa suatu bank tidak sehat dan tidak dapat dipertahankan.
“Artinya, tentu menjadi sesuatu yang sangat tidak tepat secara hukum jika lembaga yang dibuat khusus untuk melakukan penyelamatan tidak dapat menolak melakukan penyelamatan. Dalam kerja melakukan penyelamatan tersebut, sangat mungkin untuk mengeluarkan biaya-biaya penyelamatan, tapi malah tanpa perlindungan hukum oleh karena dianggap dapat merugikan keuangan Negara,” ujarnya di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Senin (1/9).
Lebih lanjut, perihal konsep penjualan bank. Menurutnya, aturan penjualan bank gagal yang diatur dalam UU tersebut adalah aturan yang aneh. Aturan tersebut dinilai menempatkan LPS pada posisi tidak menguntungkan di hadapan pihak yang akan melakukan pembelian. “Ketentuan ini membuat LPS menjadi pihak yang hampir dapat dipastikan selalu merugi oleh sikap pembeli yang akan menunggu hingga batas akhir penjualan untuk dapat membeli dengan harga yang terendah,” jelasnya.
Terakhir, dengan adanya pasal-pasal tersebut, Zainal berpandangan tugas-tugas LPS menjadi terganggu. Dalam bertugas, LPS dapat diancam dengan hal-hal yang dihubungkan dengan kerugian keuangan Negara. Hal tersebut membuat LPS tidak mendapatkan perlindungan berarti dalam melaksanakan tugasnya. “Padahal dalam melaksanakan tugas tersebut, LPS dan orang-orang yang berada di dalamnya juga memiliki hak dalam memperjuangkan dan membangun masyarakat, bangsa, dan negara dalam melaksanakan tugas dan kewenangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 28C ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” imbuhnya.
Bukan Perbuatan Pidana
Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Hukum Pidana UGM Edward Omar Sharif Hiariej menjelaskan tindakan penjualan bank gagal yang dilakukan LPS pada tahun kelima atau keenam tidak dapat dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang merugikan keuangan negara. “Tindakan tersebut dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum dalam rangka melaksanakan kewajiban LPS yang tegas-tegas diatur dalam undang-undang,” ujarnya.
Lebih lanjut, ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU LPS menyatakan LPS wajib menjual saham bank yang diselamatkan. Karena adanya kata ‘wajib’ dalam aturan itu, Edward mengatakan lembaga independen tersebut tidak memiliki pilihan lain selain dari melaksanakan kewajiban untuk menjual seluruh saham bank gagal dan dalam batas waktu yang telah ditentukan tanpa perlu memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal.
Pada sidang perdana, LPS yang diwakili kuasa hukumnya Eri Hertiawan menyatakan bahwa tindakan atau perbuatan hukum yang akan dilakukan oleh LPS berpotensi menjadi terhambat dengan adanya pasal-pasal yang diujikan. “Kami mengambil contoh terhadap fungsi dari LPS untuk menjamin simpanan nasabah penyimpan. Untuk melaksanakan tugas melaksanakan pengambilan simpanan, LPS mempunyai hak juga untuk mendapatkan data nasabah. Dalam kaitannya dengan data nasabah, ada perundang-undangan lain yang mengatur mengenai rahasia bank,” ujar Eri dalam sidang perdana perkara nomor 27/PUU-XII/2014 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (27/3) silam.
Dalam konteks rahasia bank itu, sambung Eri, LPS berpotensi untuk mengalami hambatan karena ada bank yang berdampak sistemik tengah diselamatkan. Terhadap bank tersebut, pihak LPS harus melakukan pemeriksaan. Namun, tugas itu lagi-lagi terhambat lantaran adanya ketentuan terkait rahasia bank. Selain itu, kewajiban LPS untuk menjual seluruh saham bank gagal, baik yang tidak berdampak sistemik dan yang berdampak sistemik, dalam waktu tertentu juga dapat terhalang lantaran harga atau upaya untuk menjual saham bank gagal tersebut nilainya di bawah nilai penyertaan modal sementara. (Lulu Hanifah/mh)