Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia mengajukan uji materiil dan uji formil Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pengujian UU yang sering disingkat sebagai UU MD3 tersebut digelar untuk pertama kali pada Kamis (28/8) di Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Lewat kuasa hukumnya, Pemohon menyampaikan UU MD3 telah menyalahi aturan dalam pembentukannya sehingga pantas dianggap cacat formil. Selain itu, UU MD3 juga dianggap berisikan pasal-pasal yang mendiskriminasikan DPD.
Kuasa hukum Pemohon, Aan Eko Widiarto di hadapan panel hakim yang diketuai Wakil Ketua MK Arief Hidayat menyampaikan pokok-pokok permohonan beserta argumentasinya. Pertama-tama, Aan menyatakan DPD telah mengalami kerugian konstitusional akibat cacat prosedur dalam pembentukan UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3 tersebut. Selain itu, dengan berlakunya UU MD3 kewenangan DPD untuk mengajukan dan membahas rancangan undang-undang (UU) menjadi terbatasi.
“Wewenang kami sebagai lembaga negara untuk mengajukan dan membahas rancangan undang-undang, akibat keberadaan Undang-Undang MD3 terbatasi, terkurangi, sehingga kami tidak dapat menjalankan fungsi legislasi dengan baik,” ujar Aan.
Salah satu pasal yang dianggap telah mengakibatkan pemasungan terhadap RUU yang diajukan oleh DPD, yaitu RUU yang diajukan DPD difilter oleh pimpinan DPR karena tidak langsung disampaikan kepada presiden, tetapi hanya disampaikan kepada pimpinan DPR. Padahal, lanjut Aan, MK lewat Putusan No. 92/PUU-X/2012 telah menyatakan RUU yang berasal dari DPD diajukan kepada DPR dan presiden. Pada kenyataannya, Pasal tersebut justru menyatakan RUU diajukan kepada pimpinan DPR dan ditembuskan kepada presiden. Dengan kata lain, tidak langsung diberikan ke presiden.
Terkait pengujian formil, DPD memandang adanya ketidaksesuaian bentuk, format, dan struktur UU MD3 dengan ketentuan dalam UUD 1945. Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa MPR terdiri dari DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Pemohon beranggapan bahwa seharusnya DPR diatur dengan UU sendiri, demikian pula dengan DPD yang memiliki UU sendiri.
“Di sini pembentuk undang-undang telah melakukan pengaturan yang menurut kami salah dari sisi bentuk, format, dan struktur karena MPR, DPR, DPD, dan DPRD itu diatur dalam satu undang-undang, tidak dalam undang-undang tersendiri. Ini kami anggap melanggar ketentuan bentuk, format, dan struktur pembentukan undang-undang,” tegas Aan.
Selain itu, DPD juga menganggap tidak diikutsertakan dalam proses pembentukan UU MD3. Aan mengungkapkan, selama pembahasan RUU MD3, DPD tidak diberikan informasi secara benar bahkan cenderung dikecoh dan dikelabui dengan adanya panyampaian RUU Perubahan Nomor 27 Tahun 2009. DPR pun dituding telah melakukan persetujuan atas UU MD3 bersama dengan presiden tanpa melibatkan DPD kembali.
Pasal Diskriminatif
Alasan lain UU MD3 dianggap inkonstitusional menurut DPD, yaitu adanya pengaturan yang bersifat diskriminatif antarlembaga negara. DPR misalnya, bila anggotanya tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR sebanyak enam kali berturut-turut tanpa alasan yang sah tidak diberhentikan anratwaktu. Namun, aturan tersebut berlaku untuk anggota DPD.
Diskriminasi juga terjadi pada kewenangan untuk dapat mengajukan pengaduan kepada BK (Badan Kehormatan) bila didapati anggota dewan yang tidak melaksanakan kewajiban atau melanggar ketentuan. Ketentuan tersebut menurut Pemohon telah dihapus pada pasal yang merujuk kepada anggota DPR. Namun, ketentuan yang sama tidak dihapus pada pasal yang merujuk kepada anggota DPD. Dengan kata lain, bila ada anggota DPR yang tidak melaksanakan kewajiban maka tidak dapat diajukan pengaduan kepada BK DPR. Sedangkan bagi anggota DPD yang didapati melanggar suatu ketentuan dapat langsung diajukan pengaduan kepada BK DPD.
Selain itu, Pemohon dalam kesempatan yang sama juga menyampaikan keberatannya terhadap ketiadaan kesejajaran kedudukan antar lembaga perwakilan dan kontraproduktifnya UU MD3 untuk memberantas korupsi.
Saran Hakim
Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati yang bertindak sebagai anggota panel hakim pada persidangan kali ini memberikan saran terkait pembentukan perundang-undangan yang memang menjadi salah satu keahliannya. Maria mengatakan akan ada perubahan fungsi bila UU MD3 “dipecah”. Konsekuensi perubahan fungsi itulah yang menurut Maria harus menjadi pertimbangan Pemohon.
“Kalau kita membuat undang-undang tentang DPR, undang-undang tentang DPD, undang-undang tentang MPR, maka setiap undang-undang itu akan kehilangan juga fungsinya. Kalau DPR membuat Undang-Undang DPR sendiri, dia tidak boleh mengatakan bahwa DPR itu juga anggotanya MPR. Dia bisa mengatakan bahwa kami tidak berhak untuk bersama-sama dalam MPR melaksanakan pelantikan presiden. Karena itu kan hanya DPR saja. Nanti DPD juga seperti itu. Kalau sudah ada undang-undang MPR-nya, maka sudah selesai. Undang-undang MPR itu yang bisa mengatur ini DPR dan ini DPD. Nah, ini perlu dipertimbangkan,” ujar Maria sembari member gambaran.
Lebih lanjut, Maria juga menggambarkan kemungkinan dibuat undang-undang baru yang menghubungkan ketiga lembaga parlemen bila UU MD3 dipisah. Sebab, sesuai sistem ketatanegaraan, DPR maupun DPD masuk sebagai bagian dari MPR.
Sementara itu Wakil Ketua MK Arief Hidayat yang bertindak sebagai pimpinan sidang mengingatkan pemohon untuk memperjelas argumentasi pengajuan uji formil. Bahkan, Pemohon sebisa mungkin harus menyampaikan kronologis pembuatan UU MD3. Dengan demikian akan terlihat pada bagian mana UU tersebut inkonstitusional. (Yusti Nurul Agustin/mh)