Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) pada Kamis (28/8) di Ruang Sidang MK. Sidang yang teregistrasi dengan nomor 73/PUU-XII/2014 ini dimohonkan oleh PDI Perjuangan (diwakili oleh Megawati Soekarnoputri dan Tjahjo Kumolo) beserta empat orang perseorangan warga negara (Dwi Ria Latifa, Junimart Girsang, Rahmani Yahya, dan Sigit Widiarto).
Dalam pokok permohonannya, para Pemohon mendalilkan pemberlakuan aturan pemilihan pimpinan DPR dan pimpinan alat kelengkapan DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 84, Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121, dan Pasal 152 UU MD3 merugikan hak konstitusional PDI Perjuangan selaku pemenang Pemilu. Hal ini dikarenakan aturan-aturan tersebut mengatur bahwa pemangku jabatan-jabatan di parlemen akan dipilih langsung oleh anggota DPR dan tidak lagi diberikan kepada partai politik sesuai dengan porsi perolehan kursi seperti diatur dalam Pasal 82 UU Nomor 27 tahun 2009 (UU MD3 sebelum diganti). Adapun jabatan-jabatan yang diatur dalam pasal tersebut yaitu pimpinan Komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan, dan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT).
Para Pemohon juga menyampaikan bahwa proses pembuatan UU MD3 melanggar prosedur pembuatan Undang-Undang, khususnya asas keterbukaan yang diatur dalam Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Menurut Pemohon, rumusan aturan-aturan tersebut tidak berasal dari “naskah akademik” yang diajukan di awal pembahasan RUU MD3 di DPR yang kemudian disampaikan kepada Pemerintah. Para Pemohon juga mendalilkan dalam proses RUU MD3 hingga akhir, tidak ada satu pun masukan mengenai perubahan mekanisme pemilihan pimpinan DPR, baik itu dalam RDP/RDPU maupun rapat konsultasi dengan pimpinan MPR, DPR, dan DPD. Dengan demikian para Pemohon berpendapat prosedur pembuatan aturan ini cacat prosedur karena telah melakukan perubahan terhadap Pasal 82 UU MD3 sebelum revisi yang mengatur pemilihan Ketua DPR merupakan hak partai politik pemenang Pemilu legislatif. Padahal, tidak ada satupun masukan mengenai perubahan mekanisme pimpinan DPR dalam RDP/RDPU maupun Rapat Konsultasi dengan Pimpinan MPR, DPR, dan DPD.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, para Pemohon meminta MK menunda berlakunya Pasal 84, Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121, dan Pasal 152 UU MD3 dan menyatakan UU tersebut inkonstitusional. Selain itu, Pemohon mendalilkan jika dilihat dari kronologis pembuatan UU MD3, Pemohon menilai benar ada pasal-pasal yang diselundupkan yang masuk di akhir pembahasan. “Dan ketika ada protes dari PDI Perjuangan, maka dikatakan, sebaiknya itu nanti dibicarakan di tingkat Paripurna, artinya diserahkan pada mekanisme pemilihan nantinya. Dan itu adalah suatu proses pembuatan yang menurut kami tidak benar,” jelasnya.
Pemohon juga menjelaskan pembuatan ataupun pembahasan pasal-pasal yang dimintakan pengujian ini bertentangan dengan tata tertib DPR serta jika merujuk pada ilmu perundang-undangan, maka suatu peraturan perundang-undangan harus memenuhi aspek filosofis, sosiologis, dan politik. “Kami mohon kiranya ada penundaan terhadap berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 ini, terutama menyangkut Pasal 84, Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121, dan Pasal 152 sampai Mahkamah memberikan putusan karena penundaan a quo akan menghilangkan potensi kerugian konstitusional Para Pemohon,” urainya.
Kuota perempuan
Dalam sidang tersebut, Majelis Hakim juga menyidangkan perkara nomor 82/PUU-XII/2014 yang dimohonkan oleh lima orang warga negara, yakni Khofifah Indar Parawansa, Rieke Diah Pitaloka, Aida Vitayala, Yuda Kusumaningsih, dan Lia Wulandari, serta tiga badan hukum privat (Yayasan Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, dan Perkumpulan Mitra Gender). Kesemuanya menggugat Pasal 97 ayat (2), Pasal 104 ayat (2), Pasal 109 ayat (2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 121 ayat (2), Pasal 152 ayat (2), dan Pasal 158 ayat (2) UU tersebut yang dinilai telah secara terstruktur menghapus seluruh ketentuan yang menyangkut keterwakilan perempuan sebagaimana sebelumnya telah diatur dalam UU MD3 sebelum revisi, khususnya klausula yang berbunyi “dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi”.
Dalam permohonannya, para Pemohon yang diwakili oleh Veri Junaidi, mengakui bahwa konstitusi tidak secara eksplisit mengatur tentang kuota keterwakilan perempuan. Namun, lanjut Veri, pengakuan tentang konstitusionalitas keterwakilan 30% perempuan telah menjadi bagian dari putusan-putusan MK sebagai penafsir tunggal konstitusi, diantaranya putusan nomor 22-24/PUU-VI/2008 dan putusan nomor 20/PUU-XI/2013 yang menegaskan bahwa pemberian kuota keterwakilan 30% perempuan merupakan diskriminasi positif dalam rangka mewujudkan keseimbangan gender di lembaga legislatif.
Dengan demikian, Para Pemohon menafsirkan bahwa kuota keterwakilan perempuan 30% merupakan sebuah keharusan untuk memberikan jaminan peluang lebih besar kepada perempuan untuk berpartisipasi di lembaga legislatif. Oleh karena itu, Para Pemohon menilai penghapusan seluruh klausula keterwakilan perempuan dalam UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945. “Berlakunya undang-undang ini ternyata telah secara terstruktur menghapus seluruh ketentuan yang menyangkut keterwakilan perempuan, di mana di dalam undang-undang yang lama itu telah diatur dan menjadi komitmen bangsa Indonesia untuk mengatur tentang keterwakilan perempuan,” ungkapnya.
Kemudian, Pemohon juga merasa mengalami kerugian konstitusional karena kesempatan bagi Pemohon sangat kecil untuk dapat menduduki posisi pimpinan alat kelengkapan DPR ketika Pemohon menjadi anggota DPR-RI. Selain itu, ruang bagi Pemohon untuk memperjuangkan keterwakilan perempuan, dalam menduduki posisi pimpinan alat kelengkapan DPR-RI akan sangat terbatas karena adanya dominasi politik dari anggota DPR lainnya.
“Yang ketiga, semakin beratnya perjuangan Pemohon untuk mendongkrak kebijakan yang telah disusun maupun ke depannya, terkait dengan kepentingan perempuan dalam parlemen dengan berlakunya undang-undang a quo. Lahirnya pasal dan frasa dalam undang-undang a quo telah sangat mengganggu dan menghambat aktivitas para pemohon dalam mendapatkan ruang untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam kondisi tidak berimbangan laki-laki dan perempuan di parlemen mendapatkan posisi politik, sebagaimana diamanatkan di Undang-Undang Dasar 1945,” terangnya.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, Para Pemohon meminta MK menyatakan aturan-aturan tersebut inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai bahwa terdapat klausula “dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi”. Para Pemohon juga memohon MK mempercepat proses persidangan sehingga putusan terhadap perkara ini dapat dibacakan sebelum proses pelantikan anggota DPR pada 1 Oktober 2014 karena aturan ini terkait dengan pengisian jabatan pimpinan DPR.
Nasihat Hakim
Menanggapi kedua permohonan tersebut, Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Arief Hidayat memberikan saran perbaikan kepada para pemohon di antaranya untuk memperbaiki kedudukan hukum. Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menjelaskan adanya ketidakjelasan mengenai kerugian konstitusional. “Tidak begitu tegas dimensi kerugian konstitusionalnya. Misalnya, yang seharusnya menurut Konstitusi pemenang pemilu itu menjadi Ketua DPR, tapi tidak menjadi, itu kalau lalu tidak menjadi itu kerugian konstitusionalnya gimana? Kalau kerugian sekadar seharusnya jadi-tidak jadi, itu kan belum ada perspektifnya. Perspektif konstitusionalnya di mana itu?” tanyanya.
Sementara Arief mengungkapkan penjelasan para pemohon mengenai kerugian yang dialami kurang mengena kepada pokok persoalan konstitusionalitas. Untuk itu, Arief menyarankan penjaman dalil permohonan. “Kita itu menguji berdasarkan dasar konstitusionalnya pasal-pasal konstitusi, sehingga bahasan-bahasan yang menyangkut sudah diratifikasinya ini instrumen internasional, dan macam-macam itu, itu kurang bermakna, itu hanya menjadi referensi saja,” jelasnya. (Lulu Anjarsari/mh)