Hukuman pemiskinan yang tercantum dalam Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU 8/2010) bagi koruptor menemui tantangan. Terpidana seumur hidup kasus penyuapan, M. Akil Mochtar, mengajukan uji materi terhadap beberapa pasal dari UU TPPU tersebut.
Sidang pemeriksaan pendahuluan uji materi UU TPPU dilaksanakan di Ruang Sidang Pleno MK, Jumat (29/8). Dipimpin oleh Hakim Konstitusi Muhammad Alim, dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Wahiddudin Adams dan Hakim Konstitusi Aswanto, sidang tersebut dihadiri oleh dua orang kuasa hukum Pemohon.
“Kami mengajukan pengujian terhadap 9 Pasal dari Undang-Undang 8 tahun 2010, yaitu Pasal 2 ayat 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 69, Pasal 76 ayat (1), Pasal 77, Pasal 78 ayat (1), dan Pasal 95 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,” ujar salah seorang Kuasa Hukum Pemohon, Adardam Achyar.
Dalam sidang tersebut, Adardam menjelaskan bahwa frase “patut diduga” dan “patut diduganya” yang terdapat di Pasal 2, 3, 4, dan 5 UU TPPU menegasikan penelusuran yang utuh terhadap kekayaan yang didapat dari tindak pidana asal sebagai hulu dari tindak pidana pencucian uang.
“Berlakunya pasal-pasal tersebut membuat penyitaan harta berlangsung dengan tanpa dasar. Banyak harta Pemohon yang disita sama sekali tidak terkait kasus pencucian uang yang didakwakan kepada Pemohon, harta-harta tersebut disita dengan tanpa melalui penulusuran akibat pasal-pasal yang tafsirnya yidak jelas,” tambah Adardam Achyar.
Melaui permohonan setebal 40 halaman tersebut, Pemohon juga meminta kejelasan pihak-pihak yang berhak melakukan tuntutan terhadap Pemohon. Menurut Pemohon, Pasal 76 ayat (1) menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak memberikan kejelasan tentang siapa yang dimaksud dengan “Penuntut Umum”, dalam hal ini KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan perkara TPPU.
Pasal 76 ayat (1) sendiri berbunyi:
Penuntut umum wajib menyerahkan berkas perkara tindak pidana Pencucian Uang kepada pengadilan negeri paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas perkara yang telah dinyatakan lengkap.
“Dengan demikian kami merasa bahwa penjeratan Pemohon dengan dua Undang Undang (Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) tidak adil,” tukasnya.
“Pemohon meminta Mahkamah memutus tidak konstitusional untuk pasal-pasal tersebut dan memberikan tafsir konstitusi yang jelas,”tambahnya.
Menanggapi hal tersebut, Hakim Konstitusi Wahiddudin Adams meminta penegasan terhadap kerugian konstitusional yang dialami Pemohon, “Langsung fokuskan saja ke argumentasi kerugian konstitusional, tidak perlu menghabiskan 20 halaman hanya untuk menjelaskan argumentasi,” kata Wahiduddin menanggapi.
Sementara itu, menanggapi pernyataan bahwa penyitaan dilakukan tanpa dasar, Hakim Konstitusi Muhammad Alim berpendapat bahwa keputusan peradilan harus bersandar pada moral keadilan daripada nilai manfaat, mengingat pada faktanya bahwa tindak pidana korupsi harus diberantas secara menyeluruh dengan efek jera yang tinggi, namun tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia. (Winandriyo Kun/mh)