Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perbaikan permohonan uji materi Pasal 44 ayat (4) dan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan). Dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Arief Hidayat, Ibnu Kholdun sebagai pemohon perkara ini memperbaiki pokok permohonan dengan menambahkan batu uji yakni Pasal 28C ayat 1, Pasal 28G ayat (1), 28I ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Menurut pemohon, norma yang diatur dalam Pasal 44 ayat (4) UU Ketenagalistrikan telah menjadi norma yang diskrimatif bagi dirinya sebagai konsumen maupun pekerja listrik. Pasalnya, baik pelanggan kaya maupun pelanggan yang tidak mampu harus membayar biaya pembuatan sertifikat laik operasi (SLO).
Hal tersebut telah menimbulkan kerugian dan berpotensi menimbulkan kerugian, serta bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.”
Dalam UU Ketenagalistrikan, setiap instalasi tenaga listrik yang beroperasi wajib memiliki SLO, sedangkan apabila ada pengoperasian instalasi listrik tanpa SLO tersebut dapat dipinda. “Sepanjang ketentuan Pasal 44 ayat (4) tetap berlaku, tanpa memiliki sertifikat layak operasi, maka Pemohon dapat dikenakan hukuman pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 54 ayat (1) UU Ketenagalistrikan,” ujar Ibnu di ruang sidang MK, Jakarta, Kamis (28/8).
Sebagaimana diketahui, Pasal 44 ayat (4) UU Ketenagalistrikan menyatakan:
“Setiap instalasi tenaga listrik yang beroperasi wajib memiliki sertifikat laik operasi”.
Adapun Pasal 54 UU Ketenagalistrikan menyatakan:
(1) Setiap orang yang mengoperasikan instalasi tenaga listrik tanpa sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang memproduksi, mengedarkan, atau memperjualbelikan peralatan dan pemanfaat tenaga listrik yang tidak sesuai dengan standard nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan atas pembatalan Pasal a quo secara keseluruhan. (Aditya Rizki/Hanifah/mh)