Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) pada Kamis (28/8) di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam sidang tersebut, seharusnya Pemohon mengajukan Ahli Pemohon, namun karena berhalangan, Pemohon meminta penundaan sidang dengan agenda mendengarkan saksi/ahli Pemohon. Mengenai hal ini, Ketua MK Hamdan Zoelva memberikan kesempatan kepada Pemohon untuk mengajukan ahli pada sidang berikutnya. “Sidang berikutnya akan digelar pada Kamis, 18 September 2014,” ujar Hamdan.
Dalam sidang sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dinilai telah melebihi kewenangannya dibandingkan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang diamanatkan oleh UUD 1945. Karena hal tersebut, sejumlah pemohon perseorangan yang tergabung dalam Tim Pembela Ekonomi Bangsa memohonkan pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK).
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 37, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK. Sebagai pembayar pajak, pemohon merasa lingkup kewenangan OJK telah melebihi kewenangan yang dimiliki oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral. Pada dasanya OJK menurut Pemohon hanya memiliki wewenang menetapkan peraturan terkait dengan tugas pengawasan lembaga keuangan bank yang berdasarkan pasal 34 ayat 1 UU Bank Indonesia. Hal ini menyebabkan wewenang OJK dalam mengawasi lembaga keuangan non-bank dan jasa keuangan lainnya tidak sah karena pada pasal tersebut tidak mengatur hal tersebut.
“Perbankan dikeluarkan dari otoritas OJK karena sudah menjadi fungsi sentral. OJK meraup semua kewenangan untuk semua sector jasa keuangan. OJK nanti akan sangat terpengaruh pada pasar keuangan. Hal ini bisa menyebabkan kepentingan publik yang menyangkut stabilitas keuangan akan terabaikan dan sulit tercapai,” papar Syamsudin Slawat selaku kuasa hukum pemohon.
Untuk itulah, dalam tuntutan atau petitum-nya, Pemohon meminta MK menyatakan UU OJK terutama Pasal 1 angka 1, Pasal 5, dan Pasal 37 bertentangan dengan UUD 1945. Namun apabila nantinya MK tidak mengabulkan permohonan tersebut, mereka meminta frasa “tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan” dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK dihapuskan. Pemohon juga mengajukan petitum provisi untuk menghentikan sementara operasional OJK sampai ada putusan pengadilan sehingga memerintahkan Bank Indonesia mengambil alih sementara. “Selain itu juga memerintahkan Badan Pemeriksa Keuangan melakukan audit, analisis, dan penelitian mendalam kepada OJK,” terang Ahmad Suryono yang merupakan salah satu pemohon. (Lulu Anjarsari/mh)