Industri hortikultura “dirangsang” untuk berkembang dengan adanya pembatasan modal asing. Hal itu terungkap lewat keterangan Ahmad Dimyati dan Sobir selaku ahli dari Pemerintah dalam sidang Pengujian Undang-Undang (PUU) Hortikultura yang dimohonkan tiga petani buah dan sayur serta Asosiasi Produsen Perbenihan Hortikultura pada Rabu (27/8) di Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK).
Memulai keterangannya, Dimyati yang merupakan mantan Direktur Jenderal Hortikultura mengungkapkan dirinya pernah terlibat dalam penyusunan dan pembahasan RUU Hortikultura. Ia pun menjelaskan latar belakang pembentukan UU Hortikultura adalah adanya keinginan untuk memperbaiki peraturan perundangan-undangan mengenai perbenihan.
Terkait dengan permohonan Pemohon, Dimyati mengatakan Pasal 100 ayat (2) dan Pasal 131 UU Hortikultura memiliki keterkaitan dengan pasal-pasal lain di dalam undang-undang a quo. Sehingga, penerapan ketentuan pembatasan impor benih harus dilihat dari perspektif keseluruhan undang-
undang tersebut. Bila ketentuan dalam Pasal 100 ayat (2) dan Pasal 131 diterapkan, lanjut Dimyati, tidak akan menyebabkan keterpurukan industri benih hortikultura yang berujung pada hilangnya kesempatan bekerja bagi para petani.
Lebih lanjut, Dimyati mengatakan pembatasan saham asing sebanyak 30 persen dalam usaha hortikultura justru dimaksudkan untuk mengejawantahkan asas kedaulatan dan kemandirian. Ketentuan tersebut mau tidak mau akan mendorong terjadinya pengelolaan dan pengembangan sumber daya hortikultura secara optimal, bertanggung jawab, dan lestari, seraya meningkatkan produksi, produktivitas, kualitas, nilai tambah, daya saing dan pangsa pasar, menyediakan lapangan kerja dan kesempatan usaha, serta meningkatkan kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Dimyati pun menangkis kekhawatiran Pemohon mengenai kemungkinan terpuruknya industri benih hortikultura bila Penanam Modal Asing (PMA) meninggalkan Indonesia. Dimyati justru yakin bila ketentuan pembatasan modal asing efektif diberlakukan mulai November 2014, maka Penanam Modal Dalam Negeri (PMDN) akan mengisi kesenjangan tersebut. “Kalau PMA itu mengambil opsi
divestasi 70 persen, maka PMA tetap dapat keuntungan dan PMDN juga tetap bersaing dengan PMA sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada. Jadi dalam hal ini, mau mengambil opsi hengkang atau mau mengambil opsi divestasi 70 persen, industri perbenihan di dalam negeri dan petani serta mitra kerja akan tetap diuntungkan, tidak dirugikan sama sekali,” yakin Dimyati.
Peneliti pada Puslitbang Hortikultura Kementerian Pertanian itu pun menjelaskan alasan sikapnya. Dimyati yakin perbandingan jumlah varietas yang dilepas atau didaftar oleh PMDN dengan PMA sangat jauh. PMDN akan lebih banyak mendaftarkan tanaman hortikultura yang diperbanyak dengan cara generatif (melalui pembenihan biji, red). Dengan demikian, kinerja usaha PMDN tidak kalah oleh PMA. Demikian juga dalam jumlah varietas yang dikomersilkan di pasar yang tidak akan jauh berbeda antara kapasitas yang dimiliki oleh PMA dengan yang dimiliki oleh PMDN. Terlebih, fasilitas yang dimiliki PMDN tidak kalah dengan yang dimiliki PMA, seperti adanya seed bank.
Lebih Unggul
Sementara itu, Ahli Pemerintah lainnya yakni Sobir selaku Ketua Perhimpunan Ilmu Kemuliaan Indonesia dan Vice President Society for the Advancement of Breeding Research in Asia and Oceania (Sabrao) menegaskan kemampuan pemulia Indonesia sudah diakui secara Internasional. Sobir pun memastikan Indonesia tidak tertinggal dalam industri hortikultura dengan negara lain, seperti Thailand dan China. Bila dilihat sepintas memang kedua negara tersebut menghasilkan lebih banyak produk hortikultura. Namun, sebenarnya Indonesia menghasilkan jauh lebih banyak produk hortikultura untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. Hanya saja, karena jumlah penduduk Indonesia yang banyak sedangkan lahan pertanian menipis, angka produksi hortikultura terlihat sedikit. Untuk memenuhinya, termasuk untuk dapat mengimpor produk hortikultura, teknologi pemuliaan tanaman harus ditingkatkan.
Dalam pemuliaan tanaman, diperlukan kepaduan antara seni, ilmu, dan teknologi. Dengan ketiga komponen tersebut, Indonesia mampu lebih unggul dari negara lain yang memiliki teknologi tinggi dalam bidang pemuliaan tanaman. Sebab, pemulia tanaman di Indonesia lebih mengenal alam dan mampu memenuhi varietas dalam negeri sendiri. “Di Indonesia kita bisa menanam tiga kali dalam satu tahun. Sehingga proses seleksi dalam satu tahun bisa tiga generasi. Sementara di negara subtropika seperti Belanda, masa tanam itu hanya satu kali dalam satu tahun sehingga proses pemuliaan di Belanda dibutuhkan waktu 10 tahun. Di Indonesia bisa di-short cut menjadi tiga tahun. Itu sebabnya banyak perusahaan di Indonesia, MPA ke sini tujuannya bukan semata-mata untuk membuat varitas untuk Indonesia, tapi mempercepat proses-proses yang ada di sana,” papar Sobir mengambarkan salah satu keunggulan pemuliaan tanaman di Indonesia.
Senada dengan Dimyati, Sobir pun memastikan dengan diberlakukannya ketentuan pembatasan penanaman modal asing di sektor perbenihan justru akan merangsang kemajuan industri hortikultura dalam negeri. Sekarang, lanjutnya, perusahaan PMDN dapat menghasilkan varietas lebih banyak dibandingkan perusahaan benih PMA. Sedangkan perusahaan PMA justru masih tergantung kepada benih-benih yang dihasilkan oleh pemulia luar negeri.
“Setelah Undang-Undang Hortikultura, ternyata perusahaan benih dalam negeri 97 persen varietasnya adalah hasil karya anak bangsa negara kita sendiri, anak-anak muda kita sendiri. Dan ini sebagian besar karena saya juga dosen di IPB sebagian besar adalah mahasiswa-mahasiswa kami
yang masih muda belia. Jadi, pemuda kita sudah bisa diandalkan untuk hal itu (pemuliaan tanaman, red). Dan kita lihat di perusahaan multinasional pun ternyata mereka lebih tergantung kepada benih-
benih yang dihasilkan oleh pemulia kita. Jadi, saya tidak berpikir perusahaan dalam negeri pun nanti kalau hengkang yang rugi mereka. Karena benih-benihnya dihasilkan oleh pemulia dalam negeri, bukan oleh pemulia dari luar negeri. Ini menunjukkan bahwa kapasitas pemulia Indonesia meningkat sangat pesat,” tukas Sobir. (Yusti Nurul Agustin)