Supriyono, warga negara asal Tangerang, Banten memperbaiki permohonan uji Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam sidang perbaikan permohonan yang dipimpin Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Pemohon meringkas kewenangan Mahkamah Konstitusi dan memperjelas kedudukan hukum Pemohon. “Dalam hal penjelasan legal standing, Pemohon mengubah batu uji menjadi Pasal 28C ayat (1), 28D ayat 1 dan 34 ayat (1) UUD 1945,” ujarnya di ruang sidang MK, Jakarta, Kamis (28/8).
Pada pokok permohonan, Pemohon memperjelasnya dengan menekankan bahwa Pasal 4 ayat (2) dapat menciptakan produk hukum pesanan. Pemohon juga merasa terjadi ketidakadilan atau pengkerdilan terhadap kemampuan pemohon untuk menghitung pajak secara benar dan adil. “Pasal ini juga dapat menciptakan peluang memungut pajak pada rakyat yang rugi, bangkrut, atau jatuh miskin,” imbuhnya.
Sebelumnya, Pemohon menilai, diberlakukannya Pasal UU tersebut telah memberikan kewenangan Pemerintah untuk memungut pajak dengan pemahaman yang sangat luas dan berpotensi menjadikan suatu aturan yang mengatur hal yang sama berlawanan satu sama lain. Terlebih lagi Pemohon merasa bahwa ketentuan tersebut tidak menjelaskan secara jelas aturan dalam menentukan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) sehingga akan menghilangkan hak Pemohon dalam menentukan penghasilan kena pajak dengan memperhitungkan modal dan biaya usaha yang dikeluarkan.
Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena menganggap ketentuan a quo bersifat multitafsir atau berpotensi memunculkan kekeliruan tafsir, dan mengurangi hak konstitusional Pemohon. Kekeliruan tafsir ini menurut Pemohon tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2014 yang membedakan badan usaha beromset s.d Rp.4.800.000.000,- dengan badan usaha beromset di atas Rp.4.800.000.000,-. Penafsiran ini menurut Pemohon menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan karena warga negara di level atas dirasa mampu menghitung pajak dengan benar, sehingga perlakuan pajaknya tidak final dan dapat melakukan kompensasi atas kerugian usaha sampai periode tertentu.
Sementara itu, warga negara di level bawah dirasa tidak mampu menghitung pajak dengan benar sehingga perlakukan pajaknya final dan tidak dapat melakukan kompensasi kerugian. Padahal, menurut pendapat Pemohon, kerugian/kebangkrutan/pailit yang diderita oleh suatu Badan Usaha dibebaskan dari pajak dan atas kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan di kemudian waktu yang batasannya diatur. Dengan alasan tersebut, Pemohon meminta MK membatalkan UU tersebut. (Hanifah/Anjarsari)