Majelis hakim Mahkamah Konstitusi yang diketuai Hakim Konstitusi Patrialis Akbar memberikan nasihat pada permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Pada sidang perdana pengujian UU yang dimohonkan oleh Forum Kota (Forkot) Kabupaten Gresik tersebut, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengkritisi permohonan yang ingin menguji UU Pelayaran secara formil. Padahal, dalam hukum acara MK dan Putusan MK Nomor 27/PUU-XII/2009, pengujian formil ada batas waktunya.
“Batas waktunya adalah 45 hari sejak undang-undang itu diundangkan, padahal undang-undang yang Anda mau minta uji itu tahun 2008, berarti sudah lewat tenggat waktu, sudah tidak bisa dilakukan hak uji formil,” jelasnya di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Kamis (28/8).
Dari segi materi, Pemohon juga diharuskan untuk mampu untuk menunjukkan di mana letak posisi inkonstitusionalitas pasal-pasal UU Pelayaran itu dengan konstitusi. “Saudara tidak perlu membandingkan dengan undang-undang lain. Ini konsistensi secara vertikal UU Pelayaran dengan konstitusi,” imbuh Arief.
Sedangkan Hakim Konstitusi Aswanto mempertanyakan kewenangan MK sebagai penguji UU terhadap UUD 1945 yang tidak dicantumkan dalam permohonan. “Dalam permohonan Saudara sama sekali enggak ada (UU tentang MK), padahal di dalam struktur permohonan harus jelas apakah Mahkamah punya kewenangan untuk memeriksa atau tidak. Nah, untuk mengetahuinya, rujukan kita tentu adalah Undang-Undang Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.
Aswanto pun meminta Pemohon memperbaiki petitumnya yang menggunakan frasa ‘sebagian pasal’. “Disebut saja pasalnya, kalau menggunakan ‘sebagian pasal’ nanti Mahkamah bingung maksudnya apa. Jadi, harus konkret” imbuhnya.
Pada permohonannya, Pemohon menyatakan dirugikan atau berpotensi dirugikan hak konstitusionalnya dengan pemberlakuan UU Pelayaran. Dalam Permohonannya, Pemohon mengaku tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU Pelayaran, sehingga menurut Pemohon UU Pelayaran tidak memenuhi syarat formil baik di tingkat eksekutif maupun legislatif.
Pasal-Pasal yang dimohonkan pengujiannya tersebut di atas bertentangan dengan prinsip otonomi daerah yang diatur pada Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945. Adapun norma-norma yang diujikan di antaranya Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6), Pasal 70 ayat (2), Pasal 72 ayat (1), Pasal 76 ayat (1), Pasal 77, Pasal 81 ayat (4), Pasal 82 ayat (1) dan (2), Pasal 96 ayat (1), Pasal 104 ayat (2), Pasal 111 ayat (1), Pasal 116 ayat (2), Pasal 197, dan Pasal 207 ayat (3) UU Pelayaran. (Lulu Hanifah/mh)