Tim Kerja Kajian Sistem Ketatanegaraan Indonesia MPR melakukan audiensi dengan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (27/8) siang di lantai 15 Gedung MK. Ketua MK Hamdan Zoelva bersama Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, didampingi Sekjen MK Janedjri M. Gaffar menerima kedatangan tim tersebut yang dipimpin oleh Mohammad Jafar Hafsah, yang didampingi oleh anggota lainnya, antara lain Rully Chairul Azwar, Herman Kadir dan Yasonna Hamonangan Laoly.
Di awal pertemuan, Mohammad Jafar Hafsah menjelaskan sejarah dibentuknya Tim Kerja Sistem Ketatanegaraan Indonesia MPR 2009-2014. “Kami menerima aspirasi-aspirasi masyarakat, kemudian berbagai bentuk model kajian yang kami lakukan, termasuk menganalisis, memutuskan hasil-hasil kajian. Sehingga MPR dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya berdasarkan hasil kajian tersebut, selalu menggunakan dokumen-dokumen hasil kajian,” papar Jafar.
Salah satu kegiatan yang sudah dilakukan Tim Kerja Kajian Sistem Ketatanegaraan Indonesia MPR adalah berdialog dengan lembaga-lembaga negara, misalnya mengenai bagaimana sebaiknya konstitusi dilaksanakan. Sedangkan kegiatan-kegiatan lainnya, melaksanakan seminar, workshop, forum group discussion, lokakarya, dan sebagainya.
“Hal inilah yang membuat MPR menjadi semakin dinamis, terasa mengawal konstitusi, membicarakan berbagai aspek kenegaraan. Termasuk aspirasi dari masyarakat untuk melakukan amandemen UUD. Itu pun sudah kami persiapkan materi-materinya,” ucap Jafar yang juga mengungkapkan Tim Kerja Kajian Sistem Ketatanegaraan Indonesia MPR terdiri atas 45 anggota.
Sementara itu anggota MPR lainnya, Rully Chairul Azwar dan Yasonna Hamonangan Laoly menyampaikan beberapa hal. Misalnya, mengenai perlu tidaknya dilaksanakan Pemilu serentak, usul kembalinya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), serta mengenai keberadaan Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Bhinneka Tunggal Ika, dan lainnya.
Usai penyampaian berbagai hal oleh Mohammad Jafar Hafsah, Ketua MK Hamdan Zoelva pun menanggapi. Di antaranya, mengenai wacana Pemilu serentak dinilai Hamdan cukup bagus. “Di samping dua kali dalam lima tahun, tapi satu provinsi dilaksanakan Pemilu sekaligus. Jangan beda-beda karena biayanya luar biasa,” kata Hamdan.
Sementara itu Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menanggapi masalah sistem checks and balances. Dikatakan Patrialis, dalam perangkat sistem checks and balances, sebenarnya MPR memiliki kesempatan ikut melakukan koordinasi, untuk bertukar pikiran dengan lembaga-lembaga lain termasuk Mahkamah Konstitusi.
“Kalau melihat sistem ketatanegaraan di dunia, sebetulnya tidak ada yang murni juga, tergantung cara kita memilih sistem yang mana yang dikehendaki. Siapa bilang Amerika Serikat menerapkan sistem presidensil murni, parlemen dan presidennya mempunyai hak veto juga kan?” kata Patrialis.
Di samping itu, Patrialis mengomentari usul kembalinya GBHN. “Mengenai GBHN misalnya. Kalau kita bicara sistem presidensil, kalau dari teori-teorinya, GBHN memang sudah tidak lagi dibutuhkan. Bagaimana Presiden punya kemampuan semaksimal mungkin melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan kerangka pikir yang dia sampaikan,” tambah Patrialis. (Nano Tresna Arfana/mh)