Tersangka kasus Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Pengelolaan Keuangan pada Dinas Pekerjaan Umum Faisal memperbaiki permohonannya dalam sidang dengan nomor perkara 54/PUU-XII/2014. Diwakili Kuasa Hukumnya, Faisal menghilangkan beberapa frasa dalam petitumnya.
Pemohon menguji materi norma Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 huruf c, dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tetang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) dan Pasal 13 UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, Kuasa Hukum Pemohon Yusril Ihza Mahendra menyampaikan telah menghilangkan beberapa frasa, khususnya dalam petitum yang semula petitum itu bersifat alternatif.
“Sehingga yang kami teruskan adalah petitum dalam angka 2 yang menyatakan Pasal 13 UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara sepanjang frasa kata ‘dapat’ bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat,” ujarnya di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Selasa (26/8).
Untuk memperkuat dalilnya, Pemohon menilai guna menentukan adanya kerugian negara dan adanya sifat pidana berdasarkan temuan BPK tentu tidak dapat dilakukan hanya dengan pemeriksaan yang bersifat rutin saja apalagi dalam bentuk ikhtisar laporan. “Untuk menentukan hal itu harus dilakukan audit investigasi yang serius untuk memastikan ada tidaknya kerugian negara dan pidana,” imbuhnya.
Hal itu juga berkaitan dengan adanya ketentuan dalam Pasal 11 UU BPK bahwa pemeriksa BPK dapat dihadirkan sebagai ahli pada persidangan. Menurut Pemohon, BPK mempunyai staf-staf yang melakukan audit dan menyimpulkan ada kerugian negara dan mengindikasikan seseorang pejabat pemerintah atau pejabat negara merugikan keuangan negara. “Ahli apa namanya itu? Orang dia sendiri yang meriksa, dia sendiri yang menyimpulkan. Itu kami anggap bertentangan dengan UUD 1945,” lanjutnya.
Pada sidang perdana, Pemohon menilai frasa ditetapkan dengan keputusan BPK dalam Pasal 10 ayat (2) UU BPK memiliki penafsiran yang tidak pasti sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Lebih lanjut, Pasal 13 UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara terdapat kata dapat. Hal tersebut, menurut Pemohon, berpotensi menimbulkan standar pemberlakuan yang ganda, sehingga memunculkan ketidakpersamaan di hadapan hukum.
Adapun Pasal 10 ayat (2) UU BPK menyatakan:
Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.
Pasal 11 huruf c UU BPK menyatakan:
Keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah.
Pasal 34 ayat (1) UU BPK menyatakan:
BPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dibantu oleh Pelaksana BPK, yang terdiri atas Sekretariat Jenderal, unit pelaksana tugas pemeriksaan, unit pelaksana tugas penunjang, perwakilan, Pemeriksa, dan pejabat lain yang ditetapkan oleh BPK sesuai dengan kebutuhan.
Sedangkan Pasal 13 UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyatakan:
Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.
Pemohon sendiri ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Sumatra Utara dalam kasus Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Pengelolaan Keuangan pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang Tahun Anggaran 2008, 2009, dan 2010, tertanggal 3 Mei 2012. Kemudian Pemohon disidik dan dituntut di pengadilan dengan dasar alat bukti ikhtisar LHP yang berasal dari BPK Perwakilan Sumatera Utara. (Lulu Hanifah/mh)