Sidang pengujian Pasal 23 ayat 2 UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) terhadap UUD 1945 kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (26/8) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi, PT. Cotrans Asia sebagai Pemohon yang diwakili oleh kuasa hukum Julianti Setiyoningsih menjelaskan telah memperbaiki permohonan sesuai dengan saran hakim konstitusi pada sidang sebelumnya. Salah satu yang diperbaiki adalah menghilangkan frasa “menerima dan/atau mengabulkan” pada petitum (permintaan) menjadi hanya “mengabulkan” permohonan.
Selain itu, Pemohon juga memperbaiki pokok permohonan yang menekankan ketidakpastian hukum akibat adanya pertentangan norma. Hal tersebut karena norma dalam Pasal 23 ayat (2) UU PPh bertentangan dengan UU lain yang juga mengatur menganai pengusaha pelayaran.
MK dalam persidangan juga mengesahkan alat bukti yang diserahkan Pemohon. Selanjutnya, permohonan tersebut akan dibawa ke Rapat Permusyawaratan Hakim untuk menentukan apakah permohonan itu layak diteruskan. “Anda sudah meyerahkan bukti tertulis mulai dari P1 sampai dengan P7. Bukti kami terima dan permohonan saudara akan didiskusikan pada rapat permusyawarahan hakim,” jelas Fadlil dalam sidang perkara Nomor 47/PUU-XII/2014 tersebut.
Pada sidang sebelumnya, Pemohon memaparkan, pihak berwenang dalam pajak, yakni Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, memaknai frasa ‘jenis jasa lain’ dalam pasal tersebut termasuk dalam pemotongan pajak penghasilan. Hal tersebut, imbuh Pemohon, tidak dapat dilakukan lantaran jenis jasa Pemohon masuk dalam lingkup pelayaran yang memiliki karakteristik berbeda dari jenis usaha lainnya sehingga semestinya tunduk pada UU Pelayaran.
Lebih lanjut, Pemohon menilai frasa ‘jenis jasa lain’ dalam Pasal 23 ayat (2) UU PPh telah tumpang tindih dengan UU lain yang mengatur bidang usaha tertentu sehingga telah melanggar asas-asas pembentukan perundang-undangan. Apalagi, sebelum direvisi, pasal yang sama tidak pernah memberikan kewenangan kepada siapapun untuk menentukan pungutan pajak atas penghasilan ‘jasa lain’, tetapi hanya menentukan siapa pihak pemotong pajak.
Adapun Pasal 23 ayat (2)UU PPh berbunyi:
“Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan”
Sebagaimana Pasal 23 huruf c angka 2 menentukan bahwa imbalan untuk jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan yaitu sebesar 2% dari jumlah bruto.
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK untuk menyatakan frasa ‘jenis jasa lain’ dalam pasal tersebut inkonstitusional sepanjang dimaknai dengan tanpa memperhatikan UU lain yang telah mengatur klasifikasi lapangan/bidang usaha tertentu. (Bagas Febrantoro/Hanifah/mh)