Mantan Hakim Konstitusi Laica Marzuki yang dihadirkan sebagai ahli menuturkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memuat rumusan pasal-pasal yang tidak jelas dan multitafsir yang mengakibatkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Rumusan demikian berpeluang memberikan makna yang keliru.
Dalam sidang lanjutan uji materi KUHAP yang dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva, Laica mencontohkan Pasal 1 angka 14 KUHAP dan Pasal 1 angka 17 KUHAP yang menimbulkan ketidakpastian hukum lantaran tidak jelas parameternya.
Pasal 1 angka 14 KUHAP menyatakan:
“Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau kesalahannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”
Sedangkan Pasal 1 angka 17 KUHAP menyatakan:
“Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.”
Frasa ‘bukti permulaan’ dan ‘bukti permulaan yang cukup’ pada kedua kaidah Pasal KUHAP tersebut tidak jelas parameternya dan dapat menjadikan kesewenang-wenangan petugas penyidik. “Petugas penyidik sendiri yang menentukan sendiri apa yang dimaksud bukti permulaan dan bukti permulaan yang cukup. Maka terjadi proses penyidikan tanpa prosedur pendukung menurut due process of law,” katanya di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Senin (25/8).
Lebih lanjut, menurutnya, Pasal 21 ayat (1) KUHAP telah memberikan ruang kewenangan yang amat subjektif kepada aparat penegak hukum dalam menyatakan kapan dan bilamana ia memandang seseorang tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan mengulang tindak pidana. Kaidah tersebut dinilai telah memberikan diskresi yang amat luas, yang mengakibatkan seseorang ditahan tanpa rujukan parameter hukum yang jelas.
Mengabaikan Hak Tersangka
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gajah Mada mengatakan kewenangan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 KUHAP pada dasarnya adalah sebagai instrumen untuk mengontrol tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum terhadap upaya paksa yang dimungkinkan dalam KUHAP. Sayangnya, imbuh dia, tidak semua upaya paksa dalam KUHAP dapat dikontrol oleh instrumen praperadilan, sehingga hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dalam due process of law.
Ia menjelaskan, konsep praperadilan itu pada hakikatnya adalah proses melindungi hak asasi manusia berkenaan dengan penggunaan upaya paksa yang dilakukan oleh penegak hukum. Melalui praperadilan, akan dinilai kesesuaian proses penggunaan upaya paksa dengan prosedur yang ditentukan oleh undang-undang.
“Haruslah diakui bahwa KUHAP yang kita miliki saat ini lebih cenderung pada crime control model yang lebih mengutamakan kuantitas dalam beracara sehingga mengabaikan hak-hak tersangka sebagaimana yang dijaminkan dalam deklarasi universal hak asasi manusia setiap warga negara,” ujarnya.
Selain itu, frasa “...sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan” pada Pasal 156 ayat (2) KUHAP, dinilai menimbulkan ketidakadilan bagi terdakwa yang melakukan banding atas putusan sela yang menolak eksepsi terdakwa. Pasalnya, berdasarkan Pasal 156 ayat (2) KUHAP, hakim yang memeriksa perkara tersebut dapat tetap melanjutkan pemeriksaan pokok perkara walaupun terdakwa melakukan banding ke pengadilan tinggi.
Lebih lanjut, apabila hakim memutuskan melanjutkan melanjutkan pokok perkara termasuk pemeriksaan saksi-saksi dan ternyata pengadilan tinggi kemudian mengabulkan permohonan banding atas putusan sela yang diajukan oleh terdakwa, maka akan terjadi inefisiensi dalam proses persidangan karena pemeriksaan pokok perkara yang telah dilakukan menjadi sia-sia. “Hal ini jelas tidak sejalan dengan asas peradilan cepat dan berbiaya ringan yang merupakan salah satu asas dalam peradilan pidana di Indonesia,” tegasnya.
Sebelumnya, terdakwa kasus korupsi bioremediasi fiktif PT. Chevron Pacific Indonesia, Bachtiar Abdul Fatah mengajukan pengujian undang-undang terkait ketentuan tentang penyidikan, proses penahanan, dan pemeriksaan perkara dalam KUHAP. Diwakili kuasa hukum Pemohon Maqdir Ismail, Pemohon menguji Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1) Pasal 77 huruf a, Pasal 156 ayat (2) KUHAP. Pasal-pasal tersebut dianggap telah diberlakukan dalam proses pemidanaan kepada Pemohon yang telah ditetapkan sebagai tersangka, penangkapan, dan penahanan Pemohon dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut. Sedangkan, Pasal 77 huruf a UU yang sama diberlakukan kepada Pemohon dalam perkara praperadilan.
“Jelas terhadap hubungan sebab-akibat antara kerugian hak konstitusional Pemohon dengan berlakunya pasal-pasal dalam KUHAP yang diuji dalam permohonan ini. Karena pemberlakuan pasal-pasal yang diuji dalam permohonan ini telah menyebabkan hak konstitusional Pemohon dirugikan atas pengakuan, jaminan perlindungan, kepastian hukum yang adil, dan hak konstitusional atas due process of law sebagaimana diberikan oleh Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945,” jelas Maqdir. (Lulu Hanifah)