Di sela-sela kesibukannya, Hakim Konstitusi Maria Farida meluangkan waktunya untuk menerima kunjungan peserta program Leimena School of Public Leadership di gedung Mahkamah Konstitusi, Selasa 19 Agustus 2014. Maria yang menjadi satu-satunya hakim perempuan sejak berdirinya MK, menjelaskan banyak hal terkait tugas dan kewenangan MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, utamanya menyangkut tugas konstitusional yang diembannya.
Sebagai hakim MK, Maria menyebut jabatannya tersebut menuntutnya untuk lebih menjaga sikap dan integritas. Berlatar belakang akademisi yang dekat dengan dunia kampus dan mahasiswa, Maria terbiasa untuk leluasa berbincang dengan para mahasiswa dan dosen lain membahas produk perundang-undangan yang memang menjadi bidang yang dikuasainya. Namun keleluasaan itu seakan tercabut setelah Maria mengucap sumpah jabatan menjadi hakim konstitusi. “Saya tidak bisa berbicara terlalu banyak mengenai proses pembentukan UU dengan para mahasiswa atau sesama dosen, karena dikhawatirkan hal itu akan menjadi polemik di masa yang akan datang. Terkadang beberapa kalangan meminta saran dan pandangan saya terkait proses pembentukan UU, namun dengan halus saya menolak karena ada kemungkinan UU tersebut dapat saja diuji ke MK. Sehingga hal itu bisa menjadi jebakan yang menyulitkan saya,” urai Maria lugas.
Ia juga menyakini, tidak hanya dirinya namun seluruh hakim konstitusi seharusnya dapat menjaga sikap dan integritas. Hal itu dirasa perlu dilakukan demi menjaga kewibawaan dan kehormatan lembaga MK. Demikian juga halnya dengan setiap putusan yang dihasilkan oleh MK, putusan tersebut tidak dapat didiskusikan atau menjadi topik bahasan yang dapat menjadi pro dan kontra di tengah masyarakat.
MK dengan seluruh kewenangan yang dimilikinya, mengemban amanat yang sepenuhnya diatur dalam UUD 1945, yang salah satunya adalah menguji UU terhadap UUD 1945. “Tugas ini tidak diberikan pada Mahkamah Agung, karena Mahkamah Agung hanya mengadili produk perundang-undangan di bawah UU, Jadi tidak perlu ada kekhawatiran akan adanya tumpang tindih kewenangan antara Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi,” ucapnya.
Maria menuturkan sejauh ini, Pengujian UU terhadap UUD 1945 (PUU) menjadi perkara konstitusi yang paling banyak ditangani MK setelah kewenangan penyelesaian hasil Pemilu. Kedepannya diharapkan, MK akan lebih fokus pada kewenangan melakukan Pengujian UU terhadap UUD 1945 menyusul telah dibatalkannya kewenangan MK untuk mengadili Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kepala Daerah. “Setelah adanya Putusan 97/PUU-XI/2013, MK tidak lagi berwenang menangani Pemilukada. Namun MK masih berwenang mengadili Pemilukada selama belum ada UU yang mengatur mengenai hal itu,” jelas Maria.
Putusan tersebut lahir pasca dikabulkannya permohonan Pengujian UU yang diajukan oleh perseorangan warga negara yang meminta agar MK hendaknya berfokus pada perkara konstitusi semisal Pengujian UU, sementara penyelesaian sengketa hasil Pemilu sebaiknya diserahkan pada peradilan umum.
Di akhir pertemuan, Maria berharap kunjungan kali ini dapat menambah wawasan peserta program yang digagas oleh Johannes Leimena School of Public Leadership perihal fungsi dan kewenangan MK dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. (Hanna Juliet/mh)